REPUBLIKA.CO.ID, NUSA LEMBONGAN -- Nelayan di Nusa Lembongan, Bali, berhenti melakukan aktivitas di laut karena cuaca di perairan Selat Badung tidak kondusif.
"Selain faktor cuaca yang tidak menentu, dalam kondisi seperti ini di laut juga jarang ikan," kata Ketut Sriana (39), nelayan asal Banjar Kelod, Desa Jungut Batu, Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung, Ahad (13/4).
Menurut Sekretaris Kelompok Nelayan Kerti Samudra, Desa Jungut Batu, itu, di perairan Selat Badung, para nelayan biasanya menangkap tongkol dan tuna.
"Musim tongkol dan tuna itu biasanya mulai bulan Juni," kata Ketut Sriana di sela-sela kesibukannya memperbaiki jaring di Pantai Jungut Batu.
Kalau sedang musimnya, sebut dia, harga tongkol di tingkat nelayan Rp10.000 per kilogram, namun saat ini harganya sudah mencapai Rp20.000 per kilogram.
"Sekarang memang belum musimnya. Kalau pun melaut, percuma. Malah menghabiskan bahan bakar," kata Wayan Surina (44) yang ditemui sedang bermain kartu bersama para nelayan lainnya di balai pertemuan nelayan di Pantai Banjar Kelod.
Bagi sebagian nelayan yang tidak melaut memilih bertani rumput laut, meskipun untuk saat ini hasilnya tidak sesuai harapan akibat serangan hama ikan.
Dari sekitar 10 ribu jiwa penduduk Nusa Lembongan, 25 persen di antaranya menggantungkan hidupnya pada rumput laut dan 10 persen nelayan, sedangkan 65 persen bekerja di sektor pariwisata.
Selain dikenal sebagai sentra rumput laut terbaik di Bali, Nusa Lembongan juga menjadi tujuan utama wisatawan mancanegara yang gemar berselancar, menyelam, dan berpetualang di alam terbuka.
Di Nusa Lembongan terdapat sedikitnya 84 hotel berbintang dan puluhan objek wisata yang berjarak sekitar 11 kilometer sebelah tenggara Pulau Bali.