REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai keputusan pemerintah membayarkan diat bagi keluarga korban pembunuhan di Arab Saudi yang dilakukan oleh warga negara Indonesia, Satinah, bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintahan selanjutnya.
"Siapapun yang akan memimpin pemerintahan ke depan, akan dalam posisi dilematis. Bila tidak membayar uang diat maka seolah kinerja mereka dinilai buruk dibandingkan kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono," kata Hikmahanto yang juga Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UI, dalam pernyataan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Kamis.
Diat adalah denda (berupa uang atau barang) yang harus dibayar karena melukai atau membunuh orang.
Hikmahanto mempertanyakan apakah yang dilakukan oleh pemerintah itu sudah tepat, karena hal yang sama juga pernah dilakukan pada tahun 2011 dengan membayar diat terpidana mati Darsem.
Namun, katanya, kali ini memang ada sedikit bedanya, uang yang digunakan tidak semata-mata dari APBN melainkan dari sejumlah sumbangan termasuk dari masyarakat.
"Pertanyaannya, ke depan berapa besar diat yang akan dimintakan oleh keluarga korban bila kali ini sudah hampir empat kali lipat uang yang dikeluarkan untuk menebus nyawa Darsem," ujarnya.
Menurut dia, pemerintah sebenarnya tahu, --sebagaimana diungkap oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Djoko Suyanto-- bahwa di belakang tuntutan diat ada mafia.
Pemerintah, lanjut Hikmahanto, juga tahu bahwa pemerintah Arab Saudi telah menetapkan batas maksimum untuk pembayaran diat.
Tetapi, ujarnya, pemerintah telah mengabaikan ini semua karena ingin menyelamatkan nyawa Satinah.
"Pertanyaannya apakah benar nyawa Satinah yang hendak diselamatkan? Ataukah ada motivasi lain di tahun politik ini yang tidak terlalu lama lagi akan dilakukan pemilu legislatif? Apakah ini upaya untuk meningkatkan elektabilitas dari partai berkuasa?," ujarnya.
Semua jawaban, kata dia, tentu hanya ada di para pengambil keputusan.
Ia menambahkan, pembayaran diat oleh pemerintah dilakukan meski Presiden Yudhoyono sebagai kepala pemerintah tertinggi beberapa waktu lalu meminta masyarakat untuk mempertimbangkan aspek keadilan bila jumlah diat yang fantastis harus ditanggung oleh pemerintah.
"Inipun menjadi pertanyaan apakah tidak ada koordinasi antara Presiden dengan para pembantunya saat diputuskan pemerintah membayar diat Satinah?," katanya.
Lebih janggal lagi, ujar Hikmahanto, dalam pembayaran diat pemerintah telah mengambil posisi sebagai pengacara dan keluarga Satinah dengan melakukan negosiasi ke keluarga korban.
Padahal, katanya, negosiasi dan pembayaran seharusnya dilakukan oleh Satinah sebagai pelaku kejahatan, keluarga Satinah atau pengacaranya.
Dalam konsep diat hubungan antara pelaku kejahatan dan keluarga korban merupakan hubungan kontraktual.
Dalam konsep tersebut tidak seharusnya pemerintah mengambil peran, karena dengan membayar diat maka pemerintah telah menumbuhsuburkan komersialisasi diat dengan mafianya.
Bahkan, katanya, pemerintah seolah mengambil jalan pintas dan mudah bagi pembebasan Satinah.
"Padahal orang bersalah meski derajatnya sangat rendah, seharusnya tetap menjalani hukuman. Dengan pembayaran diat, maka seolah kejahatan yang pernah dilakukan serta-merta hapus," kata Hikmahanto Juwana.