Kamis 13 Mar 2014 19:21 WIB

Surabaya Segera Miliki Satu-satunya RS Riset di Indonesia

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nidia Zuraya
Lambang Surabaya, ilustrasi
Lambang Surabaya, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kota Surabaya, Jawa Timur (Jatim) akan resmi memiliki rumah sakit (RS) riset satu-satunya di Indonesia dalam waktu dekat. Saat ini izin operasional sudah memasuki tahap akhir.

Direktur Eksekutif  RS Khusus Penyakit Tropik dan Infeksi, Prof Dr Boerhan Hidayat, Sp.A(K) mengatakan, RS yang berlokasi di kampus C Universitas Airlangga (Unair) Mulyorejo, Surabaya rencananya akan digunakan sebagai tempat meneliti berbagai macam penyakit, khususnya untuk jenis penyakit tropik dan infeksi.

‘’Proses pengajuan izin operasional sudah sampai pada tahap akhir. Sekarang tinggal masalah perubahan nama dan pemenuhan sumber daya manusia,’’ ujar Boerhan saat menemui Walikota Surabaya Tri Rismaharini di balai kota, Kamis (13/3).

Meski belum mengantongi izin secara resmi, kata Boerhan, namun RS tersebut sudah menjalankan sejumlah aktivitas. Tentunya, aktivitas yang dimaksud yang tidak melanggar ketentuan seperti pendidikan dan pelatihan. Melainkan supaya alat-alat yang ada tidak menganggur, jadi pihaknya menggunakan untuk sekadar pendidikan dan pelatihan.

‘’Jika nantinya resmi beroperasi maka RS Khusus Penyakit Tropik dan Infeksi akan menjadi satu-satunya RS riset di Indonesia,’’ ujarya.

Dia menjelaskan, fungsi utama RS riset tentu berbeda dengan RS pelayanan pada umumnya. Targetnya yakni membantu bidang penelitian berbagai macam penyakit, mencapai kesetaraan di bidang kedokteran dengan negara-negara lain, dan meminimalisir penyakit. Sayangnya, selama ini yang intens meneliti justru para ahli medis dari luar negeri. Para ahli medis asing itu mengadakan penelitian di Indonesia serta menghasilkan buku-buku referensi. Buku-buku tersebut lah yang banyak dijadikan acuan dokter-dokter dalam negeri.

“Ini kan ironis, ini wilayah kita tetapi penelitian dilakukan di tanah air oleh orang luar negeri. Kita hanya mengkonsumsi bukunya, jadi bukan kita sendiri yang meneliti,” ujarnya.

Pernyataan Boerhan tersebut diiyakan Risma. Dia mengakui bahwa para pakar medis di Indonesia masih lemah di bidang penelitian. Bisa jadi hal itu karena kurang adanya penghargaan akan capaian para peneliti. Sehingga, tidak ada motivasi yang melandasi sebuah penelitian. ‘’Namun dari segi sumber daya manusianya saya yakin ahli medis tanah air masih bisa bersaing,’’ katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement