Senin 10 Mar 2014 19:19 WIB

Petugas Kebersihan yang tak Sehat

Rep: c66/ Red: Karta Raharja Ucu
 Sejumlah petugas kebersihan membersihkan sampah yang berserakan di pinggir Jalan I Gusti Ngurah Rai, Klender, Jakarta Timur, Selasa (4/3). (foto : Raisan Al Farisi)
Sejumlah petugas kebersihan membersihkan sampah yang berserakan di pinggir Jalan I Gusti Ngurah Rai, Klender, Jakarta Timur, Selasa (4/3). (foto : Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, Ratusan lalat hinggap pada tumpukan sampah di Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS) Klender, Jakarta Timur. Pada Senin (24/2) pagi, sampah dari berbagai jenis itu dibiarkan berserakan meluber dari batas TPS. Tak terlihat petugas yang menyapu sampah-sampah tersebut.

TPS Klender adalah tempat pembuangan sampah sementara bagi warga Kelurahan Klender, Jakarta Timur. Lokasi TPS ini terletak di pinggir Jalan Raya Klender menuju Cipinang. Beberapa gerobak petugas kebersihan terlihat terparkir di sisi dalam TPS dan sebagian lainnya ditepikan di pinggir jalan raya.

Situasi serupa terjadi di TPS Duri Kosambi. Pada Ahad (23/2) pagi, petugas kebersihan Kelurahan Tanjung Duren, Jakarta Barat, sibuk mengangkut sampah ke TPS Duri Kosambi. Gerobak sampah yang sempat memadati jalan raya di bawah jembatan Kebon Jeruk menuju Kemanggisan sudah tidak lagi terlihat. Gerobak sampah hanya terlihat di sekitar TPS yang berada tidak jauh dari jalan raya.

Hari-hari sebelumnya, jalan raya di bawah jembatan ini dipenuhi gerobak sampah. Akibatnya, jalan tersebut menjadi kawasan langganan kemacetan. Banjir yang melanda kawasan Tanjung Duren memperparah keadaan. Bertambahnya volume sampah warga yang bercampur dengan sampah sisa banjir membuat petugas kewalahan.

Hampir satu bulan sampah-sampah menumpuk dan meluber hingga jalan raya. “Beberapa petugas yang rumahnya terkena banjir terpaksa meliburkan diri, jadi kita tidak dapat membersihkan tumpukan sampah,” kata Agus (31), petugas kebersihan dari RW 5 Tanjung Duren.

Minimnya petugas kebersihan membuat sampah sering menumpuk. Akibatnya, pengangkutan sampah dari masing-masing RW ke TPS sering terlambat. “Idealnya, petugas kebersihan ada satu di setiap RT, tapi seringnya tidak begitu,” ujar Suyitno (52), kepala Seksi Kebersihan Kelurahan Klender.

Suyitno mengatakan, tidak banyak orang yang ingin menjadi petugas kebersihan. Minimnya upah dan tidak ada tunjangan kesehatan menjadi faktor utama mengapa jumlah petugas kebersihan selalu kurang.

Agus, contohnya. Ia mengaku mendapat upah Rp 600 ribu per bulan dari iuran warga RW 05. Agus mengaku tidak mendapatkan tunjangan apa pun selain uang gaji yang diterimanya tersebut.

Jika sakit atau kecelakaan, Agus harus menanggung sendiri biaya pengobatan. Ia bercerita pernah terkena tifus dan demam akibat kelelahan bekerja di tempat kotor. “Saya sih nggak punya kartu kesehatan, habis syaratnya terlalu banyak,” ujar pria yang sudah bekerja menjadi petugas kebersihan sejak 1996 itu.

Pendapat senada disampaikan Gino (40), petugas kebersihan dari RW 14 di Kelurahan Klender. Ia berpendapat tunjangan kesehatan sangat dibutuhkan para petugas. “Kami ingin diberi fasilitas kesehatan, paling nggak dari pemerintah melalui RW,” ujarnya.

Bukan hanya petugas kebersihan RW, bahkan petugas kebersihan dari Dinas Kebersihan juga tidak mendapat tunjangan kesehatan. Rata-rata petugas dari Dinas Kebersihan adalah pekerja harian dengan upah per hari.

Petugas kebersihan sangat rentan terkena penyakit karena lingkungan bekerja mereka yang tidak bersih. Tunjangan kesehatan hendaknya dapat diberikan Pemerintah DKI Jakarta kepada mereka, baik yang dari RW maupun dari Dinas Kebersihan sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement