Senin 10 Mar 2014 14:04 WIB

Gayus Lumbuun Minta Pemerintah dan DPR Sikapi Putusan MK

Topane Gayus Lumbuun
Foto: Republika/Wihdan
Topane Gayus Lumbuun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Hakim Agung Gayus Lumbuun meminta pemerintah dan DPR segera merespon putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan norma pasal 268 ayat 3 tentang Peninjauan Kembali (PK). Gayus mengungkapkan putusan MK terhadap gugatan mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar itu membuat ketidakpastian hukum, karena PK dapat dilakukan berkali-kali.

"Kekwatiran (PK berkali-kali) nantinya akan digunakan oleh terpidana kasus Narkotika dan yang lainya, makanya harus segera disikapi oleh DPR dan Pemerintah," kata Gayus di Jakarta, Senin.

Mantan anggota DPR itu menambahkan, jika diperlukan, untuk mengatasi PK agar tidak dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang sengaja menunda hukuman, dengan PK berkali-kali tanpa batas maka MA akan mengeluarkan peraturan Mahkamah Agung (Perma).

Gayus mengatakan berdasarkan kewenangannya (MA) untuk mengatur hal-hal yang diperlukan(sebagai kekosongan hukum) demi kelancaran penyelenggaraan peradilan sebagaimana diatur pada pasal 79 UU Nomor 3 tahun 2009 perubahan atas UU sebelumnya, semisal dengan mengatur pengajuan PK kepada pihak yang berkepentingan (Kejaksaan mewakili negara) dan Terpidana atau ahli warisnya masing-masing sebanyak dua kali sebagai bentuk pembatasan yang bersifat partikulatif.

"Atau pembatasan yang penting dan wajar, pengaturan tersebut dengan tujuan agar tidak mudah mengajukan PK, apabila alasan PK tidak betul-betul cukup kuat," tandasnya.

Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar yang menguji Pasal 268 ayat 3 UU KUHAP yang membatasi permohonan peninjauan kembali hanya satu kali.

Mahkamah menyatakan, Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang memuat ketentuan pengajuan PK hanya satu kali bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat keadilan tidak dibatasi oleh waktu dan hanya boleh sekali karena dimungkinkan ditemukan keadaan baru (novum) yang saat PK pertama kali atau sebelumnya belum ditemukan.

Antasari Azhar menguji Pasal 268 ayat (3) KUHAP karena merasa dirugikan hak konstitusionalnya terkait ketentuan yang menutup ruang mengajukan PK lebih dari sekali untuk mencapai keadilan yang dia harapkan.

Dia berdalih jika suatu perkara yang telah diajukan PK kemudian ditemukan bukti baru (novum) kasusnya terkatung-katung dalam proses penyelidikan atau penyidikan.

Untuk itu, Antasari meminta MK menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang berbunyi "Permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali jika dimaknai terhadap alasan ditemukannya bukti baru berdasarkan pemanfaatan iptek.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement