REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi
Perusahaan mendapat sertifikat halal rata-rata dalam 60 hari.
JAKARTA - Produsen yang mengklaim produknya halal harus melakukan sertifikasi halal. Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Rachmat Hidayat mengatakan pihaknya berprinsip konsumen wajib dilindungi.
“Kalau sudah klaim halal, produsen wajib sertifikasi sebab halal harus dibuktikan,” kata Rachmat, Jumat (7/3). Jika mereka tak melakukannya, harus dihukum dengan tidak membeli produk itu. Sebab, ini berkaitan dengan integritas perusahaan.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, perusahaan atau produsen yang tidak memberikan kepada konsumen atas apa yang dijanjikan didenda Rp 5 miliar atau kurungan badan tiga bulan. Ini termasuk janji kehalalan produk.
Di tengah masyarakat, terkadang muncul produk yang memiliki label halal sendiri. Produsen mencetak kalimat halal dalam bahasa Arab atau Latin. Berbeda dengan produk bersertifikat halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI.
Produk itu memiliki label halal dan tulisan MUI dalam lingkaran pada kemasannya. Menurut Rachmat, bagi perusahaan yang tak mengklaim produknya halal, tak ada kewajiban. Selanjutnya, terserah mereka kalau mau melakukan sertifikasi.
Produsen yang menyertifikasi halal produknya, kata Rachmat, berarti mereka ingin melindungi konsumennya. Meski demikian, GAPMMI bersikeras agar sertifikasi tak wajib. Ia menganalogikan, tidak semua orang harus Islam.
Tetapi, saat seseorang memeluk Islam maka tak bisa lepas dari kewajiban sebagai Muslim. Rachmat juga tak memedulikan siapa yang kelak memegang wewenang memberikan sertifikat halal. Kini, RUU Jaminan Produk Halal yang mengatur kewenangan itu masih dibahas.
Selama ini, perusahaan banyak yang mengajukan aplikasi kepada LPPOM MUI karena itulah lembaga paling kompeten. Lembaga ini juga menjadi pionir sertifikasi halal pada akhir 1988, dari hasil penelitian susu yang mengandung lemak babi, tapi diklaim halal.
Menurut Rachmat, sertifikasi halal sama prosedurnya dengan sertifikasi lainnya, seperti ISO. Ini membutuhkan biaya administrasi dan audit lapangan yang bervariasi. “Biaya audit itu ditanggung perusahaan dan ini merupakan praktik yang lazim,” ujar Rahmat.
Tuntutan pengusaha, ia mengungkapkan, rincian biaya dan lamanya sertifikasi harus jelas. Ia juga mengapresiasi sikap LPPOM yang tidak menuntut perusahaan yang mengeluhkan sertifikasi halal. Padahal, LPPOM memiliki bukti perusahaan pemohonlah yang tidak kooperatif.
Humas LPPOM MUI Faried MS mengatakan, proses sertifikasi halal terhadap produk sebuah perusahaan dilakukan terbuka. LPPOM menerapkan sistem online yang disebut CEROL SS23000. Lewat sistem ini, perusahaan bisa memantau prosesnya.
Termasuk, kekurangan yang harus perusahaan penuhi. Jika belum juga dipenuhi, proses sertifikasi dihentikan sementara. “Informasi itu diberikan kepada perusahaan pemohon sertifikat halal,” kata Faried menegaskan.
Tak jarang, ada perusahaan mengaku sudah mendaftar dan tidak melanjutkan proses. Namun, mereka berbicara ke mana-mana, berbulan-bulan sudah mendaftar tak juga selesai. Padahal, Faried menambahkan, mereka baru melalui satu proses, yaitu pendaftaran.
Ada juga perusahaan yang begitu datang untuk mendaftar, langsung meminta kepastian besaran biaya. Sementara, LPPOM membutuhkan waktu untuk menghitung dulu. Ia menuturkan, sertifikasi berlangsung selama 75 hari kalender.
Saat ini, rata-rata perusahaan mendapat sertifikat dalam 60 hari kelender. Ini tercapai kalau perusahaan kooperatif. Menurutnya, LPPOM memberlakukan sistem batas waktu. Jika muncul masalah, ada batas bagi LPPOM untuk menyelesaikannya, demikian pula perusahaan.
Jadi, terlihat di mana masalah yang membuat sertifikasi berjalan lama. Faried mengatakan, variabel biaya untuk setiap skala industri berbeda-beda. Saat LPPOM mengaudit perusahaan yang menggunakan bahan-bahan yang rumit, membutuhkan waktu relatif lama.
Berbeda dengan audit perusahaan air minum, tentu waktu yang dibutuhkan relatif singkat karena pemeriksaan fokus pada arang aktif.