REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pakar hukum tata negara yang juga tim pengajuan PK Antasari Azhar, Yusril Ihza Mahendra menjelaskan terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Peninjauan Kembali (PK) lebih dari sekali yang dimohonkan Antasari Azhar. Ia menilai ada kesalahpahaman dalam mendefinisikan putusan tersebut.
Ia menjelaskan yang dimohon oleh Antasari untuk diuji terhadap UUD 1945 adalah norma pasal 268 ayat 3 KUHAP, yang mengatur bahwa PK hanya boleh dilakukan satu kali saja. Antasari tidak menguji pasal-pasal yang substansinya sama, yang juga diatur dalam UU yang lain, seperti UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung.
"Jadi, ruang lingkup permohonan AA adalah spesifik hukum acara pidana saja, sebagai hukum formil untuk menegakkan hukum pidana materil," kata Yusril dalam siaran pers yang diterima ROL, Sabtu (8/3).
Keterangan ahli yang ia sampaikan dalam sidang MK pun tegas mengatakan demikian, bahwa permohonan uji terhadap PK itu spesifik hanya untuk pidana. Jadi, ketika permohonan Antasari dikabulkan maka yang boleh PK lebih sekali hanya dalam perkara pidana saja.
"Untuk perkara lain seperti perkara perdata, tata usaha negara dan lain-lain, PK tetap hanya boleh dilakukan satu kali saja," jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, yang berhak mengajukan PK hanyalah terpidana, keluarga dan penasehat hukumnya. PK dapat diajukan jika ada novum atau bukti baru yang ditemukan kemudian setelah perkara diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Asumsinya, jika sekiranya alat bukti tersebut diungkapkan di persidangan sebelumnya, maka kemungkinan terdakwa akan dibebaskan dari dakwaan. Selain novum, alasan PK juga didasarkan atas adanya kekhilafan hakim yang nyata dalam memutus perkara pidana tersebut atau adanya pertentangan putusan terhadap perkara tersebut dengan perkara yang sama, yang sebelumnya telah diputus inkracht oleh pengadilan.
"Jaksa Penuntut Umum tidak berhak mengajukan PK, karena filosofi adanya PK adalah untuk melindungi kepentingan terpidana dari ketidakadilan. Namun demikian Jaksa Agung berhak ajukan PK yang dinamakan 'PK demi hukum'," tegas Yusril.