REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Diterimanya uji materil tentang pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dianggap mengacaukan sistem hukum di Indonesia. Mantan Ketua Hakim Konstitusi Mahfud MD mengatakan, bahkan, putusan MK yang menerima judical review itu, berbahaya.
"Saya berpikir spontan saja, begitu mendengar ada vonis seperti itu," kata dia, saat kunjungannya ke Musi Rawas, Palembang, Jumat (7/3). Mahmud mengatakan, sebagai warga negara paham hukum, dirinya cemas atas prospek hukum di Indonesia.
MK mengabulkan gugatan uji materil atas pasal 268 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Gugatan itu diajukan oleh terpidana pembunuhan, Antasari Azhar. Dia ini, juga adalah bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Antasari dipidana 18 tahun penjara lantaan terbukti turut serta dalam kasus pembunuhan, Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, 2009 lalu. Antasari pernah mengajukan PK atas kasus yang menimpanya itu pada 2011. Tapi, Mahkamah Agung (MA) menolak lantaran tidak ada bukti baru.
Penolakan MA itu menutup upaya hukum membebaskan diri Antasari. Ketentuan KUHAP pasal 268 ayat (3) mengatur, PK hanya boleh diajukan sekali. Dikabulkannya uji materil atas gugatan tersebut, membuat Antasari bisa ajukan PK berkali-kali.
Menurut Mahfud, putusan MK tetap sah. Akan tetapi, punya risiko juga rancu. Kata dia, putusan tersebut membuka pintu kepastian hukum yang tidak jelas. Sebab PK diatas PK sama artinya dengan 'menggantung' kepastian hukum. "Orang yang sudah dihukum masih bisa dianggap belum bersalah," kata dia.
Diterangkan dia, proses PK memang tidak bisa menangguhkan eksekusi seorang terpidana. Akan tetapi, di Indonesia, kata dia, banyak kasus eksekusi yang mangkrak lantaran menunggu PK. Jika PK bisa diajukan berkali-kali, maka, menurut dia bakal semakin sulit menemukan kepastian hukum.