REPUBLIKA.CO.ID, Udara dingin Kota Bogor seolah tidak mampu membuat tubuh seorang pria yang tidak balut pakaian itu menggigil. Rambutnya terlihat kasar dan penuh kotoran, sementara badannya hitam legam tersengat sinar matahari. Ia adalah satu dari ratusan para pengidap gangguan jiwa yang kini tersebar di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Entah mereka datang dari mana. Yang jelas, mereka menggelandang di sudut-sudut kota tanpa pengawasan yang terkadang membahayakan masyarakat. Jumlahnya yang ratusan membuat Dinas Sosial, Tenagakerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Bogor mengaku kewalahan menangani mereka. Kepala Seksi Pemulihan Sosial Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor Sri Mulyani menggambarkan, dalam sebulan, pihaknya bisa menjaring hingga 20 orang gelandangan pengidap gangguan jiwa.
Pria yang akbra disapa Yani itu berkata, jumlah mereka sebenarnya jauh lebih besar. “Mereka sangat banyak, entah dari mana datangnya. Kami kewalahan,” ujar Yani kepada Republika, Kamis (20/2).
Yani berkeluh-kesah, gelandangan pengidap gangguan jiwa di Kabupaten Bogor bermunculan di jalan-jalan perlintasan provinsi dan titik perbatasan wilayahnya dengan kota/kabupaten tetangga. Daerah-daerah tersebut, seperti jalur Cileungsi, yang menghubungkan Kabupeten Bogor dengan Kota Depok dan DKI Jakarta, jalur Leuwiliang yang merupakan jalan alternatif ke Rangkasbitung, Banten.
Selain itu, para gelandangan dengan gangguan kejiwaan juga banyak dijumpai di titik-titik perbatasan dengan Kota Bogor. Yani mengaku curiga mereka dikirim oknum-oknum instansi dan rumah sakit provinsi dan kota/kabupaten tetangga.
“Kabuaten Bogor ini, kan strategis, punya empat rumah sakit daerah, ada rumah sakit jiwa juga. Ya, seperti kejadian di Lampung itu, karena dianggap sakit jiwa, mereka diterlantarkan di mana saja,” ujar Yani.
Yani mengakui pihaknya menemui sejumlah kendala menangani gelandangan dengan gangguan jiwa. Menurut Yani, kurangnya koordinasi, anggaran yang terbatas, serta minimnya personil, menjadi tiga faktor utama di balik kendala yang dihadapi.
Soal koordinasi, Yani menggambarkan, karena berbagai keterbatasan, Dinsosnakertrans, utamanya bekerja berbasiskan laporan masyarakat. Di mencontohkan, masyarakat sering melaporkan kalau ada pengidap gangguan jiwa yang mengamuk atau mendapat kecelakaan. “Dinas Kesehatan, Satpol PP, itu kan juga harus terlibat, karena kami bukan ahli medis dan juga butuh perlindungan. Tapi selama ini kami bekerja sendiri,” kata dia.
Setelah dirujuk ke rumah sakit jiwa (RSJ), menurut Yani, terkadang juga masih ada kesalahpahaman. Setelah mengalami perawatan, ada pasien yang dikembalikan kepada pihaknya. Ketika ditanya, sang pasien ternyata belum bisa berkomunikasi dengan sadar dan masih tak tahu asalnya dari mana. “Ini cukup merepotkan. Kami sebenarnya tidak diberi anggaran untuk menangani pengidap gangguan jiwa, kami juga tidak punya penanmpungan untuk mereka,” tutur dia.