Oleh Bilal Ramadhan
REPUBLIKA.CO.ID, Warga di 30 desa yang terletak di kaki Gunung Sinabung telah mengungsi di 41 pos pengungsian di Kabanjahe, Berastagi dan sekitarnya. Desa-desa tersebut umumnya berada di jarak radius lima kilometer dari puncak Gunung Sinabung.
Desa-desa yang ditinggalkan warganya ini kini menjadi seperti kota mati. Pada Ahad (19/1) siang, RoL sempat mendatangi salah satu desa ini yaitu Desa Sigarang-garang yang letaknya kurang dari radius tiga kilometer dari Gunung Sinabung.
Usai meliput kedatangan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi di posko pusat pengungsian di halaman kantor gedung DPRD Kabupaten Karo, RoL bersama dua orang rekan fotografer dari media lain langsung menuju Desa Sigaranggarang.
Untuk menuju ke Desa Sigaranggaran dari Kota Kabanjahe cukup mudah. Jalan yang dilewati ke arah utara yang merupakan jalan menuju ke Danau Lau Kawar. Danau ini merupakan titik awal untuk //trackking// menuju Kawah Gunung Sinabung yang diizinkan untuk didaki sebelum terjadinya erupsi.
Dari kantor DPRD Kabupaten Karo, akan melewati rumah ada Lingga, Simpang Empat, Perteguhan, Suka Ndebi, Namanteran dan baru kemudian akan tiba di Desa Sigaranggarang. Sepanjang perjalanan, jalan dan rumah-rumah sekitarnya dipenuhi abu-abu vulkanik yang dimuntahkan Gunung Sinabung.
Jalan pun agak licin, sehingga bagi warga yang mengendarai sepeda motor atau disebut 'kereta' di Sumatera Utara, harus berhati-hati. Desa Sigaranggarang akan terlihat setelah melalui SMPN 1 Namanteran di sebelah kanan jalan.
Lahan pertanian di sekitar sekolah ini telah mati dan ditutupi abu vulkanik. Sekolah ini juga sudah lumpuh dan tidak beroperasi lagi usai penetapan status Gunung Sinabung yang terus meningkat.
Saat memasuki sekolah ini, ada dua anjing yang keluar dari rumah di depan sekolah dan terus menggonggong. Saya dan dua rekan pun masuk ke dalam sekolah dengan memutari sekolah dan menemukan celah untuk masuk. Pasalnya pintu masuk sekolah ini telah dikunci dengan rantai.
Begitu masuk, halaman sekolah penuh dengan debu vulkanik. Bendera merah putih yang berkibar di tiang pun dipenuhi abu. Ada sebuah antena parabola dalam kondisi 'penyok' dan tergeletak di sisi halaman sekolah. Sepertinya antena parabola ini pernah terhempas awan panas dan terlempar ke halaman sekolah ini.
Kaca-kaca jendela kelas juga sebagian ada yang pecah. Pintu kelas, terutama kelas yang menghadap Gunung Sinabung, juga terbuka dengan lunglai karena ada engsel pintu yang lepas. Dalam kelas, lantai serta semua pintu dan meja ditutup debu vulkanik.
Saat keluar dari sekolah ini, ada dua anak yang juga mendatangi sekolah ini bernama Yakub dan Rendy. Rupanya dua anak ini merupakan siswa kelas II di SMPN 1 Namanteran.
"Ya sedih juga lihat sekolah jadi begini," kata Yakub, kepada Republika di depan SMPN 1 Namantera, Kabupaten Karo, Ahad (19/1).
Yakub menuturkan sejak empat bulan lalu, sekolah menonaktifkan kegiatan belajar mengajarnya karena para siswa dan guru ikut mengungsi ke Kota Kabanjahe. Yakub dan Rendy pun melanjutkan sekolah yang ditunjuk pemerintah setelah menjadi pengungsi.
Ia mengingat sekolahnya ini ditumbuhi tanaman hijau di sekitarnya. Bahkan lahan di samping sekolah, merupakan lahan laboratorium untuk para siswa. Namun kini tanaman itu semua mati dan dipenuhi abu vulkanik."Belum tahu kapan bisa sekolah di sini lagi," ucap Yakub.