REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Di tengah melemahnya kepercayaan publik terhadap keputusan Makamah Konstitusi (MK) terkait perkara-perkara konstitusi terutama sengketa pemilihan kepala daerah, Unlam Banjarmasin menggagas Dialog Publik Nasional, menghadirkan pakar hukum ketatanegaraan dan praktisi dari unsur pemerintahan daerah.
Dialog publik nasional yang berlangsung di Gedung Rektorat Unlam Banjarmasin, Sabtu (20/1), menghadirkan Wakil Ketua Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HUM) RI, Prof Dr Denny Indrayana, Wakil Makamah Konstitusi Prof Dr Arief Hidayat, dan Bupati Banjar Sultan H Khairul Saleh, sebagai keynote speaker.
Bupati Banjar Sultan H Khairul Saleh melontarkan gagasan pentingnya penyelesaian sengketa Pemilukadayang lebih bisa diterima dan tidak menimbulkan permasalahan. Sebagaimana diketahui, ada putusan MK terkait sengketa Pemilukada justru menyebabkan tidak efektifnya roda pemerintahan sebagaimana terjadi di Kabupaten Kota Waringin Barat. Demikian pula adanya putusan-putusan yang ditengarai tidak diputuskan secara baik.
“Melihat banyaknya perkara yang masuk terutama terkait pemilukada di beberapa daerah yang ditangani MK, maka penting bagi pemerintah menekan terjadinya konflik yakni penguatan KPUD dan Panwaslu," ujar Sultan Banjar itu.
Sengketa Pemulikada yang digugat melalui MK , menurut Sultan Khairul Saleh, terjadi karena pihak yang kalah akan menggunakan alasan adanya pelanggaran-pelanggaran. "Adalah tugas KPUD dan Panwaslu untuk meminalisir adanya pelanggaran, dan jika ada pelanggaran KPUD harus bisa menyelesaikan dengan baik," tegasnya.
Menurut dia, pemikiran tentang pentingnya peningkatan kapasitas KPUD dan Panwaslu sangat penting karena sengketa Pemilukada yang tidak terselesaikan dengan baik akan sangat mempengaruhi efektivitas roda pemerintahan dan pembangunan di daerah.
“Seperti yang terjadi di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Gunung Mas, aktivitas pembangunan daerah terganggu akibat kontroversi atas keputusan MK, itu terjadi karena banyaknya sengekta Pemilukada yang ditangani MK, mentalitas hakim MK, semntara putusan MK sesuai ketentuan UU bersifat final dan mengikat (binding), sehingga tidakmemberikan upaya hukum lain apappun untuk menguji keputusan yang dibuat MK" paparnya.
Khairul Saleh optimistis MK ke depan akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugas utamanya mengawal penegakkan konstitusi, mengingat pemerintah dan MK sendiri telah berupaya keras mengembalikan citra MK pascakasus yang menimpa ketua MK terdahulu.
Khairul Saleh, menambahkan, untuk mengurangi beban perkara yang ditangani MK, konflik hasil Pemilu yang tidak terselesaikan dapat ditangani oleh Peradilan yang ada yaitu PTUN dan Peradilan Umum dengan perlakuan khusus (proses singkat) atau jika perlu peradilan khusus yang bersifat ad hoc.
"Untuk itu diperlukan perangkat perundangan atau perubahan atas UU yang ada yang memungkinkan adanya peradilan yang cepat dan menghasilkan putusan yang berkualitas," papar Khairul Saleh.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof Dr Denny Indrayana mengakui lembaga MK saat ini mengalami penurunan kepercayaan publik pascakasus yang membelit mantan Ketua MK Akil Muchtar .
“Pilar kokohnya lembaga Makamah Konstitusi adalah kepercayaan rakyat. Saat ini kepercayaan rakyat kepada MK mengalami penurunan. Tetapi penurunan kepercayaan rakyat itu bukan kepada lembaga atau institusi, tetapi karena kasus yang mencederainya,” papar Denny.
Solusi untuk penguatan peran MK itu sendiri, lanjutnya, penting bagi seluruh lapisan masyarakat memberikan dukungan moral atau pemikiran agar keberadaan MK kembali kokoh.
“Pemerintah sendiri telah melakukan berbagai langkah berupa pembuatan perangkat aturan terkait pemilihan calon Ketua MK, termasuk pengetatan persyaratan dan uji kelayakan bagi calon Ketua MK,” papar Denny penuh semangat.
Sementara itu, Wakil Ketua MK Prof Dr Arief Hidayat dalam materi dialog bertema Konstitusitionalisme Progresif dalam Perspektif Teodemokrasi – Teonomokrasi mengatakan, MK saat ini terus berkerja keras mengembalikan kepercayaan masyarakat atas peran lembaga ini.
Diutarakan, berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 telah ditentukan bahwa MK memiliki empat kewenangan konsitusional dan satu kewajiban konstitusional . Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang N0 24 Tahun 2003 junco UU No 8 Tahun 2011 tentang Makamah Konstitusi mempertegas dan menyebut empat kewenangan MK yaitu: Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, Memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, Memutus Pembubaran Partai Politik dan Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.