REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjadikan pelaksanaan pemilu 2014 sebagai salah satu titik perhatian. Berkaca pada pengalaman sebelumnya, transaksi mencurigakan cenderung mengalami peningkatan.
Kepala PPATK M Yusuf mengatakan, pada 2004 ke 2005 tren laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM) meningkat 145 persen. Kemudian pada 2008 ke 2009 mengalami peningkatan 125 persen.
Artinya, ada hubungan antara pemilu dengan jumlah transaksi yang dilakukan. "Dilihat dari polanya, ada juga secara cash (tunai)," kata dia di Jakarta, Jumat (3/1).
Laporan transaksi keuangan tunai (LTKT) peserta pemilu, juga cenderung meningkat dibandingkan jumlah dan frekuensinya sebelum terpilih sebegai eksekutif. Untuk pemilu legislatif, ia mengatakan, terjadi peningkatan sebelum dan sesudah terpilih. "Seperti ada kausalitas antara jabatan dan transaksi," ujar dia.
Ada juga temuan calon inkumben yang menggunakan fasilitas yang melekat dalam kewenangannya. Misalnya, ujar dia, dengan menggunakan aset atau kekayaan BUMD.
Jadi dana yang masuk sebagai sumbangan untuk pemilihan bisa datang dari rekanan pemda atau BUMD. "(Modusnya) pakai dana cash. Bisa dari pihak ketiga, bisa rekanan. Inkumben biasanya pakai rekanan," kata dia.
Menurut Yusuf, banyaknya transaksi yang dilakukan secara tunai menjadi salah satu kendala tersendiri dalam penelusuran PPATK. Padahal, banyak tindakan korupsi atau tindak pidana pencucian uang yang menggunakan jalur uang tunai. Karenanya, PPATK terus mendorong adanya pembatasan transaksi tunai.
Yusuf mengatakan, PPATK sudah melayangkan surat ke kemenkeu dan juga Gubernur Bank Indonesia untuk mengajukan pembatasan transaksi tunai.
Adanya pembatasan itu bisa akan mempersempit ruang tindak pidana korupsi. "Regulasi pembatasan transaksi tunai sekarang masih digodok dan kita berharap bisa segera dituntaskan," kata dia.