REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Dewi Aryani mempersoalkan Pertamina menaikkan harga liquified petroleum gas (elpiji) di tengah kondisi perekonomian masyarakat sedang tidak stabil akibat keterpurukan ekonomi dan politik yang belum stabil.
"Kita tahu bahwa ekonomi masyarakat, terutama di kelas menengah ke bawah sedang tidak stabil," kata Dr Dewi Aryani, M.Si. yang juga anggota Komisi VII (Bidang Energi) DPR RI ketika dihubungi dari Semarang, Kamis (3/1) malam.
Dewi mengungkapkan pernyataan tersebut terkait dengan pemberlakuan harga elpiji nonsubsidi kemasan 12 kg secara serentak di seluruh Indonesia per kilogram per 1 Januari 2014. Adapun besaran kenaikan di tingkat konsumen akan bervariasi berdasarkan jarak stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBBE) ke titik serah (supply point).
Menyinggung soal sudah tepat atau tidak menaikkan harga elpiji tersebut, Dewi mengatakan bahwa Pertamina harus menjelaskan kepada masyarakat berapa sebenarnya harga "cost production" elpiji tersebut.
"Kenaikan juga harus diimbangi dengan penjelasan dan sosialisasi. Masyarakat tidak bisa hanya diberikan punishment (hukuman) berupa kenaikan tak beralasan. Rasionalitas harga produksi juga harus diselaraskan dengan kondisi masyarakat saat ini," ucapnya.
Dewi menegaskan, Pertamina sebagai entitas bisnis memang berhak mengatur harga produk dan layanan kepada masyarakat, tetapi jangan lupa bahwa Pertamina juga milik rakyat.
Ia menekankan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) operator sektor energi juga harus melihat kemampuan dan kondisi psikologis penerimaan rakyat terhadap berbagai kebijakan, terutama soal harga.
"'Pricing policy (kebijakan harga) yang dikeluarkan oleh Pertamina sebagai BUMN harus juga melihat variabel-variabel lain di luar komersial," kata Duta UI Reformasi Birokrasi Indonesia itu.