REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dyah Ratna Meta Novia, Ira Sasmita, Muhammad Akbar Wijaya, Abdullah Sammy
Buruh di kompleks parlemen belum pernah menjumpai wakil rakyat sejati di gedungnya wakil rakyat.
Di sudut ruangan Kompleks Parlemen Senayan, lelaki paruh baya terduduk sambil memandangi cermin. Si paruh baya merasa tak punya hak untuk berkaca di atas cermin itu. Baginya, cermin lebih berhak digunakan si penghuni Kompleks Parlemen Senayan.
Pria paruh baya itu hanya bisa memandang cermin tersebut untuk mengamati adanya kotoran di kaca. Begitu tampak kotoran atau percik air menempel, si paruh baya dengan cekatan mengambil kain. Perlahan tapi pasti, kotoran di cermin toilet anggota dewan dia bersihkan.
Sudah 13 tahun berlalu, lelaki paruh baya yang akrab dipanggil Aryo itu masih setia menyambangi kaca toilet di sudut ruangan kantor DPR. Sepanjang 13 tahun itu, Aryo mendapati ratusan muka anggota DPR yang berlalu lalang memandangi kaca.
Aryo sadar, kaca di toilet menjadi pembeda nasibnya yang hanya buruh kebersihan dengan anggota DPR. Karena itu, dia hanya bisa berharap sederhana. Harapannya kerja keras sebagai petugas jasa kebersihan, bisa diganjar dengan upah minimum yang layak.
Harapan Aryo belum bisa terwujud sekalipun dia sudah 13 tahun berada di rumah rakyat. “Sudah 13 tahun saya di sini, tapi belum juga diangkat sebagai karyawan tetap,” kata Aryo ketika berbincang dengan Republika.
Walhasil, sepanjang 13 tahun bekerja di kompleks parlemen, dia harus memendam gundah. Harapannya melepas status buruh kontrak belum juga menemukan titik terang. Padahal, Aryo bekerja di lembaga yang melarang perusahaan menerapkan status pegawai kontrak selama bertahun-tahun.
Sekalipun nasibnya masih telantar, Aryo mengaku nyaris tak pernah menelantarkan kewajiban kerjanya. Baginya, tidak bekerja sama dengan membiarkan sebagian penghasilan bulanannya raib.
Karena alasan itu, pria asal Jawa Tengah tersebut sedari Senin hingga Jumat nyaris selalu datang tepat waktu. Selama lima hari dalam sepekan, tugas yang dibebani pada Aryo beraneka ragam. Mulai dari mengepel, menyapu, hingga mempersiapkan segala kebutuhan rapat para wakil rakyat.
Dari jerih payah bekerja selama delapan jam, dengan asumsi 20 hari kerja, Aryo mengantongi uang Rp 1,7 juta per bulan. Uang itu dia gunakan untuk menghidupi satu istri, tiga anak, dan sewa rumah kontrakan.
“Kalau dibilang cukup, ya jelas tidak,” tegas pria berkulit sawo matang ini. Aryo mengaku cukup kewalahan bekerja sebagai buruh kebersihan di kompleks parlemen. Sebab, lokasinya bekerja terbentang luas di seluruh toilet Gedung Nusantara I.
Mengaku lelah, bukan berarti si buruh bisa seenaknya bolos atau titip absen. Sebab, Aryo mengaku pengawasan ketat selalu diberlakukan oleh perusahaan yang mengontraknya. Namun, kelelahan saat bekerja bukan menjadi kendala utama Aryo. Kendala selama 13 tahun selalu menghantuinya sebagai buruh di kompleks parlemen adalah penghasilannya yang Rp 1,7 juta sebulan.
Di sisi lain, ongkos hidup yang semakin tinggi memaksa Aryo terus memutar otak. Dia dipaksa pintar mencari uang tambahan. Biasanya Aryo mengandalkan jasa sebagai kurir di parlemen. Tugasnya serabutan mulai dari memfotokopi dokumen, membuat kopi, atau hanya sekadar mengobrol dengan anggota dewan.
Dari pekerjaan serabutannya itu, Aryo biasa mendapat tambahan hingga Rp 50 ribu per hari. “Kita hidup dari uang tips itu,” katanya. Walau kerap mendapat uang tambahan, sejatinya Aryo tak pernah nyaman. Sebab, hingga kini statusnya masih sebatas buruh kontrak alias outsourcing.
Sebagai buruh outsourcing, banyak pantangan yang mengekang Aryo sebagai manusia bebas. Perusahaan tempatnya bekerja PT YPU melarang dia berserikat dan bersikap kritis. Kalau nekat menggugat hak terkait pekerjaan, perusahaan mengancam pemecatan sepihak. “Kita tidak boleh membentuk SPSI (serikat pekerja). Kalau bersikeras diancam dikeluarkan,” ujarnya.
Aryo menyadari mimpinya menjadi pegawai tetap sangat berat terwujud. Sekalipun setiap hari berjumpa anggota DPR yang nyaring menentang outsourcing, namun hal itu tak berarti bagi Aryo. Karena faktanya, praktik outsourcing terus terjadi di kompleks parlemen sepanjang 13 tahun dia bekerja.
Selama itu pula Aryo telah melihat ratusan wajah anggota DPR di cermin toilet. Namun, anggota itu masih terlalu sibuk berkaca diri sendiri, ketimbang menoleh padanya.
Belum ada keinginan nyata anggota dewan untuk memperhatikan nasib rakyat yang kerap berada di sisi toilet itu. Kalaupun ada perhatian dari empunya kompleks parlemen, itu baru berbentuk usulan mempercantik cermin dan perabotan lain di toilet.
Di awal tahun lalu, DPR sempat mengusulkan anggaran Rp 1,4 miliar untuk mempercantik toilet dewan. Sementara perbaikan untuk nasib Aryo dan kawan-kawan hingga kini masih terpinggirkan.
Terkait nasib buruh yang bekerja di kompleks parlemen, anggota dewan angkat suara. Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Budiman Sujatmiko menilai, petugas kebersihan DPR patut mendapat perhatian.
Budiman setuju bila para buruh kebersihan ini ditinjau kembali statusnya sebagai buruh kontrak. “DPR harus menjadi contoh terdepan dalam memperlakukan pekerjanya dengan baik,” kata pria yang pernah dikenal sebagai aktivis perjuangan buruh itu.
Sekjen DPR Winantuningtyastiti mengakui saat ini masih banyak pekerja di DPR yang berstatus outsourcing. Pihak Sekretariat Jenderal DPR mengaku berupaya memberi perhatian terhadap pegawai outsourcing itu. Caranya dengan melakukan koordinasi dengan deputi atau kepala biro masing-masing bagian. “Atas kebutuhan para pegawai, apa itu soal gaji atau pekerjaan, itu kita tanyakan ke masing-masing biro,” kata Winantuningtyastiti.
Tapi, Sekjen mengaku tidak bisa melakukan perbaikan kejahteraan secara langsung kepada para buruh seperti Aryo. Keluhan-keluhan itu hanya jadi masukan bagi sekjen untuk kemudian menegur perusahaan yang menyediakan jasa outsourcing.
Dari data yang dimiliki DPR, lebih dari 300 pekerja di lingkungan kompleks parlemen berstatus pekerja kontrak. Mereka terbagi atas pekerja keamanan dan kebersihan.
Sekalipun kerap mendapat kata simpati, Aryo mengaku belum pernah mendapat solusi. Kini memasuki masa tua, ada kekhawatiran dalam dirinya. Hidup tanpa tunjangan dan jaminan penghasilan hari tua menjadi kekhawatiran utamanya.
Aryo mengaku khawatir terhadap masa depan anak-anaknya kelak. Sesekali sempat terpikir untuk mencari alternatif pekerjaan lain. Namun, hal itu tak kunjung dilakukan hingga 13 tahun berlalu di dalam toilet gedung dewan.
Aryo beralasan, usianya sudah terlalu tua. Terlalu berisiko baginya bila harus berhenti dan mencari pekerjaan baru. Dia lebih memilih pasrah terhadap nasibnya di toilet gedung dewan. “Yang masih muda dan bujangan saja banyak yang menganggur,” kata pria berusia 49 tahun ini.
Aryo sadar di republik ini nasib dan kegelisahan orang kecil sering diabaikan. Bahkan, nasib buruh seperti Aryo pun telantar di rumahnya wakil rakyat selama 13 tahun.
Sebagai seorang ayah sekaligus suami dia tetap berharap nasib baik bakal berpihak padanya kelak. Dia ingin, wakil rakyat di parlemen maupun Sekretariat Jenderal DPR memperhatikan status buruh kontraknya yang telah bekerja belasan tahun. “Masa depan tanpa pesangon. Itu yang saya khawatirkan. Saya takut, ” katanya mengakhiri obrolan di depan kaca toilet kompleks parlemen.
Lain Aryo, lain lagi Sarmini (35 tahun). Bagi Sarmini, tidak ada yang istimewa bekerja satu atap dengan anggota DPR di kompleks parlemen. Sebab, nasibnya tak ubahnya buruh di pelosok kota yang masih mendapat upah di bawah rata-rata.
Sarmini mengaku hanya satu keistimewaan yang didapatkannya dengan bekerja di kompleks parlemen. Keistimewaan itu adalah statusnya di kampung. Dia dipandang cukup terhormat karena sehari-hari bisa keluar masuk Gedung DPR.
Namun sejatinya, aktivitas Sarmini hanya terjebak di satu tempat, yakni toilet wanita Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan. Wanita asal Banjarnegara, Jawa Tengah, itu malah merasa hidupnya lebih berat selama bekerja di kompleks parlemen.
Mini, begitu ia biasa dipanggil rekannya, hanya mengantongi Rp 2 juta setiap bulan. Persoalan baginya makin berat sebab harga kebutuhan pokok selalu meningkat. "Rasanya sudah sejak Lebaran saya tidak pernah lagi beli daging. Harganya makin ke sini makin tinggi," ujar Mini.
Bekerja hingga sore membuat Mini tidak bisa mencari sumber pemasukan yang lain. Sementara suaminya hanya bekerja sebagai agen asuransi yang tidak bisa dipastikan besar gajinya setiap bulan. Padahal, ia harus menghidupi dua orang putri.
Membiayai keperluan sekolah mereka. Membayar sewa rumah dan memastikan setiap hari ia dan keluarganya bisa tercukupi kebutuhan pangannya. Semua beban itu harus ditanggung Mini dengan statusnya sebagai buruh kontrak di kompleks parlemen.
Mini secara jujur mengaku tugasnya membersihkan toilet tidaklah berat. Barangkali tugas anggota DPR lebih berat dibandingkan dirinya. Satu hal yang membuatnya kecewa bekerja di kompleks parlemen adalah dia tak pernah mendapati wakil rakyat sejati di gedungnya wakil rakat. Yang Mini dapati justru majikan yang setiap hari lalu lalang memasuki toilet. Majikan yang setiap hari hanya berkaca akan diri sendiri. "Tiap hari kan nonton televisi. Yang ngomong orang yang sering saya lihat tiap hari. Tapi omongan dan janjinya bagi rakyat belum bisa saya rasakan," ungkapnya.