Jumat 27 Dec 2013 08:05 WIB

Pemerintah Harus Perhatikan Nasib TKW

Rep: Indah Wulandari/ Red: Dewi Mardiani
Kedatangan TKI Bermasalah di Tanjung Priok
Kedatangan TKI Bermasalah di Tanjung Priok

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dari waktu ke waktu, permasalahan yang menjerat buruh migran Indonesia di beberapa negara terus bermunculan. Hal paling mengenaskan adalah meningkatnya buruh migran Indonesia (BMI) yang terancam hukuman mati.

Bukan hanya itu, PHK sepihak tak mengenal musim, dibayar rendah, gaji tidak dibayar, dan pelanggaran hak-hak normatif hingga praktik perbudakan. Anis Hidayah, salah seorang pendiri Migrant Care dan Direktur Eksekutif Migrant Care mengungkap, 265 BMI terancam hukuman mati. 

Menurut data yang dihimpun Migrant Care, jelas Anis, di Malaysia 213 BMI sedang dalam proses hukum, 70 kasus sudah divonis hukuman mati. “Di Arab Saudi saat ini terdapat sembilan kasus dengan vonis tetap hukuman mati dan 33 kasus dalam proses. Di China terdapat sembilan kasus vonis tetap hukuman mati dan 18 kasus masih dalam proses. Hal ini sangat memprihatinkan,” papar Anis Hidayah, kemarin.

Di hadapan 500-an caleg perempuan Partai NasDem, Anis mengungkap, banyak eksekusi mati yang terjadi di beberapa negara terhadap buruh migran Indonesia. Di antaranya  pada 19 Januari 1990 Basri Masse dieksekusi mati di Malaysia; Karno Marzuki, 14 September 1991 di Malaysia; Yanti Iriyanti pada 12 Februari 2008 di Arab Saudi; Darman Agustiri pada 2010 di Mesir; dan Ruyati pada 18 Juni 2011 di Arab Saudi.

Apa yang menimpa buruh migran Indonesia tersebut, menurut Anis, sebenarnya tidak terlepas dari berbagai kesalahan. Sebagai contoh, 101.067 buruh migran tidak berdokumen yang mendaftarkan legalisasi namun hanya 17.306 yang berhasil mendapatkan dokumen ketenagakerjaan dan 6.700 yang mendapatkan exit permit.

“Ini juga terjadi karena adanya misleading tentang perlindungan yang dimaknai secara parsial dan ad hoc, yakni penanganan kasus, pendekatan yang digunakan hanya case by case," terang Anis. Seringkali juga reaktif bahkan terlambat. Misalnya memulangkan overstayers dari Arab ketika didesak masyarakat dengan aksi Rp 1.000 untuk kasus Ruyati.

Untuk meminimalisasi atau bahkan menghentikan terjadinya hal tersebut, Anis menekankan perlunya peran Pemda setempat yang daerahnya mengirim buruh keluar negeri. Beberapa poin yang harus diperhatikan Pemda, antara lain Pemda wajib memberikan informasi, pelayanan, dan fasilitas kepada BMI yang mudah, murah, dan berkualitas.

Pemda juga diminta membentuk pelayanan terpadu guna mempermudah pelayanan pada BMI, peringatan daerah wajib memberikan fasilitas pembiayaan guna meringankan beban BMI. “Lalu hal yang harus dilakukan para eksekutif dan legislatif adalah merampungkan revisi UU TKI,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement