Sabtu 14 Dec 2013 01:32 WIB

Simalakama Enzim Babi untuk Vaksin

Vaksin Campak (ilustrasi)
Foto: topnews.in
Vaksin Campak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ratna Ajeng Tejomukti

Peredaran vaksin haram yang mengandung babi memang cukup memprihatinkan. Namun, Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengatakan vaksin tersebut sudah jelas tidak mendapatkan sertifikasi.

LPPOM MUI perlu untuk mendapatkan data yang valid terkait dengan obat-obatan dan vaksin, baik yang mengandung zat babi maupun yang tidak.

Lukman menjelaskan, untuk menyertifikasi obat dan vaksin memang telah ada aturannya. Vaksin dan obat-obatan harus jelas kehalalannya, pihak manapun tidak bisa menghambat sertifikasi halal karena hak setiap Muslim untuk mengetahuinya. Dengan demikian, konsumen bisa menentukan pilihan mereka.

Dia menyebutkan beberapa syarat, diperbolehkannnya vaksin berunsur haram tersebut bila pasien akan cacat permanen atau meninggal dunia jika tidak memakai vaksin tersebut. Di saat bersamaan, belum ditemukan obat alternatif yang halal. “Boleh saja vaksin itu digunakan,” tutur dia.

Beberapa vaksin telah disertifikasi oleh LPPOM MUI, seperti vaksin meningitis dan vaksin polio. Namun, Lukman mengatakan, pihaknya belum mengetahui mana-mana saja vaksin yang tercemar zat babi mana yang tidak.

Lukman menjelaskan titik kritis obat-obatan biasanya dilihat dari banyak faktor. Pertama, asal bahan aktif obat. Bahan aktif obat bisa berasal dari hewan dan tumbuhan. Jika dari hewan, hewannya harus halal. Hewan yang halal pun harus sesuai dengan syariat ketika menyembelihnya.

Terdapat bahan aktif lain yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung seperti mikroba. “Selain babi, ada bahan aktif yang rentan keharamannya saat proses fermentasi,” ujarnya.

Proses fermentasi biasanya menggunakan media hewan juga. Titik kritis inilah yang penting karena media pembiakan bisa menggunakan babi maupun hewan lainnya.

Kedua, bahan penolong untuk bahan aktif tumbuhan dan sintetis harus diperhatikan asal muasalnya. Karena, bisa saja bahan penolong dapat terkontaminasi dan bersinggungan dengan bahan yang tidak jelas kehalalannya.

Bahan penolong ini agar memudahkan obat-obatan dapat diserap oleh tubuh. Terdapat delapan bahan dari 28 bahan penolong yang perlu diperhatikan titik kritisnya.

Bahan tersebut, di antaranya bahan pengemulsi, bahan pewarna, bahan perisa, bahan pengisi tablet, bahan pengilap, bahan pemanis, bahan pelarut, dan bahan enkapsulisasi.

Pemimpin Rumah Sakit Al Fauzan dr Pritha Kusumaningsih mengatakan, sebagai konsumen obat-obatan pihaknya selalu meminta sertifikasi halal dari produsen.

Memang sertifikasi halal tersebut tidak semuanya dari MUI. Lantaran, beberapa vaksin didatangkan dari luar negeri dengan syarat bersertifikat halal.

Pihaknya menggunakan vaksin yang telah disertifikasi kehalalannya, seperti vaksin polio, meningitis, dan vaksin diare. Sedangkan, obat racikan yang dibuat sendiri, bungkus kapsul yang digunakan pun tidak luput dari pengecekan sertifikat halal.

Terkait dengan vaksin yang mengandung zat babi, dr Pritha memang menyatakan dalam proses pembuatannya vaksin membutuhkan enzim yang terdapat di dalam babi. Namun, setelah berbentuk vaksin, sudah tidak ada lagi kandungan zat tersebut.

Walaupun demikian, obat-obatan dan vaksin yang belum bersertifikat halal bukan berarti haram. Pasien pun tidak perlu khawatir dan menolak vaksin yang diberikan hingga membahayakan keadaan pasien.

Pendiri Rumah Vaksinasi Dr Piprim Basarah Yanuarso mengatakan ada 14 jenis vaksin. Namun, memang dalam proses pembuatan vaksinnya terdapat tiga vaksin yang menggunakan katalisator enzim tripsin dari babi.

Tiga vaksin tersebut, di antaranya polio, rotavirus, dan meningitis. Akan tetapi, untuk tiga vaksin tersebut telah mendapatkan sertifikat halal, bahkan dari Majelis Ulama Eropa dan Majelis Ulama Amerika.

Vaksin yang terdapat unsur babi tersebut telah melalui proses pencucian jutaan kali. Merujuk sejumlah dalil dalam kajian fikih, jika unsur haram tersebut telah dicuci bersih, bisa menjadi halal.

Kaidah yang diyakini oleh dr Piprim yang juga sebagai Sekretaris Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, seluruh zat dapat dianggap halal sampai terbukti keharamannya. ''Bukan berarti seluruh zat dianggap haram sampai mendapatkan sertifikasi halal baru terbukti kehalalannya,'' ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement