REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan adanya permainan kartel dan mafia dalam sektor kedaulatan pangan.
Padahal secara produksi, Indonesia dapat memenuhi kebutuhan lokal tanpa harus melakukan impor dan melakukan liberalisasi ekonomi.
"Negara agraris didesak-desak WTO (Wolrd Trade Organization) untuk melakukan liberalisasi ekonomi. Kita harus mendorong untuk menghentikan liberalisasi di sektor pangan," kata Samad dalam acara Pekan Politik Kebangsaan di Jakarta, Kamis (12/12).
Samad memaparkan masalah kedaulatan pangan merupakan salah satu dari tiga sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak namun banyak dilakukan korupsi di dalamnya. Sektor lainnya adalah sektor energi dan lingkungan serta sektor pendapatan.
Ia menyebutkan sekitar 80 persen masyarakat mengandalkan diri pada pertanian, peternakan dan sejenisnya. Akan tetapi sektor ini tidak memberi kesejahteraan. Petani dan peternak justru semakin miskin karena pemerintah tidak memiliki kebijakan yang menyeluruh atau holistik.
Adanya permainan kartel dan mafia di sektor pangan terjadi antara perusahaan importir dengan pejabat negara. Hal ini yang membuat beras dan kedelain masih impor, garam dan gula rafinasi juga masih impor serta daging sapi pun banyak diimpor dari Australia.
Ia mempertanyakan apakah produksi lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dalam hasil penelitian yang dilakukan KPK, ternyata produksi lokal dapat memenuhinya dan tidak perlu melakukan impor dari luar negeri.
"Ada permainan kartel importir yang dibuat seolah-olah tidak mencukupi kebutuhan sehingga harus impor," katanya menjelaskan.
Daging sapi misalnya, berdasarkan hasil penelitian KPK, ada tiga titik sentra produksi daging sapi terbesar di Indonesia yaitu Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Produksi daging sapi dari tiga daerah ini, tambahnya, sudah dapat memenuhi kebutuhan daging untuk dalam negeri.
Untuk gula refinasi, sudah memiliki aturan dalam melakukan impor yaitu gula refinasi boleh impor untuk memenuhi kebutuhan perusahaan makanan dan minuman. Namun karena ada permainan kartel dan mafia importir, jumlah impor gula refinasi terus diperbesar jumlahnya.
Jika kebutuhan industri makanan dan minuman sudah terpenuhi, maka sisa gula refinasi impor ini dilempar ke pasar umum. Hal ini membuat petani tebu terpukul karena tidak akan bersaing dengan gula refinasi impor yang harganya lebih murah.
Menurutnya masih banyak lagi penyimpangan di sektor pangan dan hasil penelitian KPK ini juga sudah diberikan dalam bentuk rekomendasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memperbaiki sektor pangan. Sebab jika masyarakat semakin tergantung, ketahanan pangan masyarakat akan semakin hancur.
Gejala ini sudah dapat dilihat dengan petani yang akan menjual lahannya karena terus-menerus merugi. Ia meminta pemerintah agar memberdayakan para petani jika mau berdaulat di sektor pangan.
Ia membandingkan dengan Pemerintah Amerika Serikat yang sangat memperkuat sektor pangannya. Padahal AS merupakan negara paling liberal namun tetap melakukan proteksi terhadap pangannya.
Bahkan saat menjadi calon presiden, Hillary Clinton mengatakan akan tetap memberikan subsidi dalam sektor pangan.
"Ini sangat ironis jika dibandingkan dengan AS. Kita juga harus mampu dengan setop impor dan setop liberalisasi di sektor pangan," kata Samad menegaskan.