Selasa 03 Dec 2013 16:48 WIB

Kehidupan Mahasiswa Dokter, Banyak 'Suka' Sedikit Duka

 Sejumlah dokter melakukan aksi solidaritas tolak kriminalisasi dokter di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu (27/11).  (Republika/Tahta Aidilla)
Sejumlah dokter melakukan aksi solidaritas tolak kriminalisasi dokter di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu (27/11). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Rifky Aulia

Saya mengambil Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di salah satu pusat pendidikan Jawa Timur dengan masa sekolah enam tahun. Saat ini saya menjalani tahun ketiga. Total sejak saya lulus SMA, sudah sembilan tahun saya membekali diri dengan ilmu kedokteran.

Saat ini, saya ditugaskan mengabdi ke rumah sakit jejaring di luar kota/pulau. Dua bulan lamanya dari bulan november saya bertugas di Bali. Alhamdulillah saya juga pengantin baru. Jadi, sungguh senang awalnya saya membayangkan tugas di Bali sekalian bulan madu. Namun kenyataannya ternyata tak seindah yang saya bayangkan.

Seminggu berada di salah satu rumah sakit pemerintah, kegiatan saya setiap harinya adalah visite (kunjungan) pasien sejak pagi, operasi hingga siang/sore, berlanjut ke layanan poliklinik. Sementara istri di rumah menanti kedatangan saya yang tidak jelas jam pulang dan jam istirahatnya. Setiap pulang saya sering sudah kecapekan, sehingga harus tidur. Selalu seperti itu setiap hari.

Di hari libur pun, saya sering dipanggil jam lima pagi untuk menangani pasien gawat di Unit Gawat Darurat (UGD) berlanjut dengan operasi di siang hari karena kondisi pasien sudah tak memungkinkan. Terkadang, panggilan operasi juga datang jam 10 malam. Alhasil, istri saya pun kian terlantar.

Di poliklinik tempat saya bekerja, banyak pasien sudah menunggu sejak pagi, duduk di lantai, dan tidur-tiduran, sama kondisinya saat pelayanan poliklinik mundur dua jam saat aksi solidaritas lalu. "Gitu kok dibesar-besarin," pikir saya.

Memang akibat ramainya pengunjung rumah sakit tersebut, pasien harus datang pagi-pagi untuk mendaftarkan diri dan melengkapi persyaratan. Memang kalau istilah orang jawanya terkesan 'kleleran', tetapi semua pasien kami layani sampai habis, walaupun melebihi jam operasional.

Suatu hari, saya dan rekan sesama PPDS diajak makan malam salah seorang dokter senior. Di tengah acara, telepon tiba-tiba berdering. Saya dikabari ada pasien korban kecelakaan. Akibatnya, dengan terpaksa acara makan malam berubah menjadi acara diskusi mengenai sang pasien. Bahkan salah satu dari kami tidak jadi makan malam karena harus menangani pasien itu. Alhamdulillah pasien tersebut tertolong dan selamat.

Lantas kapan kami istirahat dan refreshing? Yah seadanya. Setelah selesai operasi siang, sembari menunggu panggilan mendadak, saya 'ngacir' sebentar menikmati matahari tenggelam di Pantai Kuta. Lumayan melepas penat. Setelah itu, jika syukur-syukur tidak ada panggilan, bisa pulang bertemu istri. Tetapi kalau ada panggilan ya harus kembali ke rumah sakit lagi.

Oh ya, kalau ada yang tanya berapa saya dibayar, sekitar 1-1,5 juta/bulan. Jauh dari kata besar. Uang itu habis untuk bayar kos dan makan sehari-hari. Selebihnya, tidak ada.

Terbayang tidak sebulan dengan uang sebesar itu tugas di luar kota tanpa uang lembur? Umur saya sekarang 29 tahun. PNS/pengusaha/wiraswasta/buruh di usia saya kira-kira penghasilannya sudah berapa?

Kalau dibandingkan mahasiswa yang sekolah di luar negeri, mereka mendapatkan tunjangan pemerintah yang cukup banyak. Di dalam negeri, selain harus membayar kami juga memiliki intensitas kerja yang hampir menyamai dokter spesialis.

Jadi, cerita saya ini adalah sebagian kisah 'suka'. Walau bekerja maksimal dengan tunjangan minimal, alhamdulillah masih bisa sejenak bercengkerama dengan keluarga. Lalu dukanya? Lihatlah rekan-rekan kami yang bertugas di daerah pedalaman. Dengan gaji yang relatif sama, mereka punya risiko berupa alat medis seadanya, perang antar suku, menyeberang sungai yang penuh dengan buaya, dan berpisah dengan keluarga.

Jadi, wajarkah dengan beban pekerjaan ini kami tetap dipandang sebagai kaum intelektual yang tidak pantas untuk berdemo? Akan adakah teman-teman kami lagi yang di-'Dr Ayu'-kan (dikriminalisasi)?

Saya hanya ingin sedikit menyuarakan aspirasi saja melalui tulisan. Terima kasih Tuhan, kami diberi banyak kesempatan untuk beribadah dan menolong sesama. Semoga kolega kami yang teraniaya, masyarakat yang butuh pelayanan, diberikan perlindungan dan penghormatan setinggi-tingginya. Amin..

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement