Kamis 28 Nov 2013 15:38 WIB

Pengamat: Indonesia Sebaiknya Laporkan Australia ke PBB

Gelombang deteksi alat sadap (ilustrasi)
Foto: ©South Florida Security Consulting
Gelombang deteksi alat sadap (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jaleswari Pramodhawardani menghimbau Pemerintah Indonesia melaporkannya Australia ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyusul kasus penyadapan kepada sejumlah pejabat RI, seperti yang dilakukan negara-negara lainnya.

"Pemerintah Indonesia hendaknya melaporkannya ke PBB," kata Jaleswari Pramodhawardani pada diskusi 'Dialog Kenegaraan: Menakar Hubungan Indonesia-Australia Pasca Penyadapan', di Gedung MPR/DPR/DPD RI Jakarta, Rabu (28/11).

Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah Anggota DPD RI Poppy Dharsono dan Anggota Komisi I DPR RI Tantowi Yahya. Menurut Pramodhawardani yang akrab disapa Dani, negara-negara lainnya melaporkan aksi penyadapan yang dilakukan Amerika Serikat dan Australia terhadap 35 pemimpin dunia ke PBB.

Negara-negara yang melaporkan ke PBB, kata dia, adalah Jerman, Brasil, Spanyol, dan sejumlah negara lainnya, sehingga PBB menerbitkan resolusi antipenyadapan karena melanggar privasi pemimpin negara dan melanggar hukum internasional.

"Namun reaksi Indonesia menyikapi aksi penyadapan yang dilakukan Australia cukup unik, yakni marah-marah dan kemudian mengirimkan surat kepada PM Australia Tonny Abbot," katanya.

Dani menilai langkah yang dilakukan Pemerintah Indonesia yakni mengirimkan surat kepada PM Australia adalah kurang tepat. Menurutnya, Pemerintah Indonesia bisa meninjau kembali perjanjian dengan Australia yakni 'Lombok Treaty' yang isinya menitikberatkan pada kerja sama di bidang pertahanan, keamanan, kontraterorisme, maritime security, dan intelijen.

"Dalam perjanjian itu, Australia lebih banyak diuntungkan secara strategis dan politik," katanya.

Peneliti bidang pertahanan LIPI ini menjelaskan penyadaan itu bisa dipandang dari tiga aspek yakni yaitu hukum, psikologis, dan politik. Dari aspek hukum, kata dia, ada konvensi Wina yang terkait etika hubungan antarnegara, pada aspek politik ada etikanya dalam hal spionase, intelijen, mata-mata, dan sebagainya.

"Penyadapan memang biasa dilakukan sebagai usaha untuk mengumpulkan informasi strategis dan tergantung bagaimana negara bekerja dalam operasi hitam tersebut, tapi ada etika, hukum internasional, dan hubungan politik antarnegara," tegasnya.

Soal reaksi masyarakat dan parlemen Australia yang justru marah dengan PM Tony Abbott dan mendesak agar meminta maaf kepada Indonesia, menurut Dani, karena Australia banyak diuntungkan posisi geografis dan hubungannya dengan Indonesia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement