REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan telekomunikasi di Indonesia dinilai sangat terbuka sehingga rawan penyadapan. Pakar teknologi komunikasi Sarwoto Atmosutarno mengutarakan, liberalisasi telekomunikasi sejak tahun 1995 telah menyebabkan teknologi informasi dan komunikasi Indonesia terlalu terbuka.
Menurutnya, secara pengelolaan maupun pemilihan teknologi, Indonesia pun terkena dampak liberalisasi. Salah satu dampak paling buruk dari liberalisasi ini adalah komunikasi yang dilakukan oleh jajaran pejabat pemerintahan yang seyogyanya sarat pengamanan terabaikan.
"Komunikasi pejabat diperlakukan layaknya komunikasi publik. Sementara, disain komunikasi publik adalah jaringan terbuka yang rawan penyadapan," ujar Sarwoto dalam siaran pers yang diterima Republika, Kamis (21/11).
Mantan Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) ini mengatakan, cyber war itu nyata dan tidak perlu deklarasi perang. Kondisi geopolitik dan geostrategi Indonesia mendesak untuk segera membangun cyber defense berbasis teknologi terestrial maupun ruang angkasa/satelit berbasis digital.
Sejak liberalisasi, terang Sarwoto, jaringan telekomunikasi militer dan keamanan Indonesia tertinggal dibanding jaringan telekomunikasi publik.
Ketertinggalan ini kemudian diperparah dengan belum adanya kesadaran akan pentingnya keberadaan cyber war dan cyber defense di kalangan pengelola jaringan tersebut. "Pembangunan cyber defense hanya terus menjadi wacana."
Lebih jauh, ungkap Sarwoto, selama pejabat publik menggunakan jaringan komunikasi publik jelas tidak aman. Sudah saatnya komunikasi pemerintahan dibuatkan sistem telekomunikasi khusus.
Padahal, kata Sarwoto, UU No. 36/1999 telah menyebutkan soal ini. "Tetapi pelaksanaannya minim, bahkan prioritasnya terabaikan,” terangnya.
Sarwoto mengungkapkan, idealnya pejabat dan instansi pemerintahserta pihak-pihak yang rawan mendapatkan serangan dalam cyber war difasilitasi dengan Jaringan Pengguna Khusus (Closed User Group, CUG) yang lebih aman.
Dengan jaringan semacam ini, aktivitas telekomunikasipejabat dan instansi pemerintah atau bahkan figur publik dapat dilindungi keamanannya secara khusus dan tertutup, dengan hierarki yang jelas standar operasinya.
Menurut Sarwoto, hierarki jaringan akses, pengumpul, dan backbone bisa didesain dengan algoritma yang berlapis-lapis dan diacak. Interkoneksi jaringan khusus dengan jaringan publik dibatasi dan terkendali baik untuk layanan suara, data, dan video termasuk internet protokol yang digunakan.
“CUG dengan disain topologi jaringan khusus saat ini digunakan oleh banyak negara yang sudah sangat sadar peranan cyber war dalam perang modern,” ungkapnya.