REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggelar strategi pencegahan terorisme terhadap obyek vital.
Kegiatan tersebut mengundang sejumlah petinggi perusahaan pertambangan untuk memperkuat sistem pengamanan lembaga.
Deputi Bidang Pencegahan Perlindungan dan Radikalisasi BNPT Agus Surya Bakti mengatakan, perlu upaya preventif untuk mengamankan objek vital. Pihaknya bertugas untuk membentuk sistem keamanan terpadu mulai dari internal, aparat polisi, TNI hingga melibatkan masyarakat.
"Memang terorisme selama ini motifnya hanya mencari perhatian. Namun ada kemungkinan kalau nantinya beralih ke ancaman ekonomi Indonesia," kata Agus dalam paparannya, di Hotel Millenium Jakarta, Rabu (20/11).
Terdapat 126 pertambangan di 29 provinsi. Gangguan yang selama ini terjadi di kawasan tersebut hanya prilaku menyimpang masyarakat. Hanya dengan kondisi secama itu, kata dia, dapat menimbulkan kekhawatiran, karena itu jangan sampai objek vital menjadi target terorisme.
Kasus terorisme atau bom yang terjadi sebelumnya berdampak pada peningkatan pengangguran, penurunan upah dan pendapatan, serta memakan biaya pemulihan ekonomi. Menurut dia, efeknya akan jauh lebih parah jika aset ekonomi negara terganggu aksi tersebut.
"Para teroris itu adalah sekelompok intelektual. Bahkan ada yang keluar dari penjara, tetap melancarkan aksinya," ujar dia.
Berdasarkan data, tercatar 910 orang yang diduga melakukan aksi teror. Sebanyak 92 di antaranya tewas, 700 telah divonis, 244 dalam masa tahanan, 308 dinyatakan bebas. Dan 25 orang kembali ke jalan terorismem
Kalau dulu serangannya berbentuk pisik, Agus menjelaskan, saat ini lebih ke pola pikir masyarakat. Menurut dia, mereka menanamkan rasa benci ke pemuda Indonesia untuk membenci negara dan aparatnya.
"Kita harus hati-hati. Upaya preventif harus dilakukan," ujar dia.