Rabu 20 Nov 2013 12:08 WIB

Hukum Indonesia Berada di Titik Nadir

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Heri Ruslan
Pengadilan (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supri
Pengadilan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  BANDUNG -- Kondisi hukum di tanah air saat ini dinilai sudah berada pada titik nadir terendah. Ini terlihat, dari banyaknya kelemahan hukum kalau dilihat dari berbagai sudut pandang hukum.

Oleh karena itu, menurut Pakar Hukum dan Pemerintahan dari Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf, Ia membantu pemerintah untuk menyiapkan blue print hukum di Indonesia, lima tahun ke depan.

''Jika ingin hukum ditegakan, harus direncanakan. Makanya, kami membantu pemerintah membuat blue print hukum Indonesia ke depan,'' ujar Asep kepada wartawan yang ditemui usai diskusi "Pembangunan Hukum Nasional ke Depan" yang digelar Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, Selasa (19/11).

Asep menjelaskan, untuk perbaikan hukum di Indonesia, setidaknya diperlukan tujuh aspek yang harus direncanakan dan dikembangkan pada bidang hukum tersebut.

Tujuh aspek itu, kata dia, di antaranya hukum terkait demokrasi dan otonomi daerah, hukum yang bisa dirasakan dan menyejahterakan rakyat, hukum yang melindungi masyarakat dan wilayahnya, serta hukum yang mampu memperkokoh kesatuan dan persatuan negara.

Namun, menurut Asep, terdapat lima prioritas hukum yang harus segera direncanakan dengan baik. Di antaranya hukum terkait pemberantasan korupsi, hukum yang mampu membangun produk hukum yang jujur dan kompeten, hukum yang bisa menyadarkan masyarakat untuk taat hukum, dan hukum yang tidak diskriminasi.

Asep menilai, penegakan hukum di Indonesia saat ini tergolong lemah. Bahkan, tidak jarang berbagai keputusan dan kebijakan yang diambil bertentangan dengan hukum. "Hukum selalu ditinggalkan, terpinggirkan," kata Asep.

Akibat lemahnya penegakan tersebut, menurut Asep hukum yang berlaku saat ini tidak mampu menyejahterakan dan melindungi masyarakat. Padahal, menurut dia, seharusnya keberadaan hukum mampu menjamin kehidupan yang baik bagi masyarakat.

"Seharusnya hukum mampu mengawal pemanfaatan sumber daya alam dan memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat," katanya.

Asep menilai, terdapat berbagai faktor yang menjadi penyebab lemahnya supremasi hukum di Indonesia. Salah satunya, karena belum maksimalnya kualitas dan kuantitas aparat penegak hukum. Padahal, hukum akan menjadi baik apabila dijalankan oleh orang yang memiliki kompetensi dan integritas baik juga.

"Agar hukum kembali menjadi panglima tertinggi di negeri ini, maka harus dijalankan oleh orang yang memiliki kompetensi dan integritas yang baik," katanya.

Kepala Pusat Penerangan Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham Agus Subandriyo mengakui lemahnya penegakan hukum saat ini. "Memang, apa yang kita rencanakan dengan yang terjadi masih belum sesuai harapan," katanya.

Menurut Agus, terkait kesejahteraan masyarakat, perlu adanya revisi terhadap berbagai undang-undang yang berlaku saat ini. Di antaranya, terkait perminyakan dan gas bumi (migas), dan mineral dan batu bara (minerba). Kendati begitu, dirinya menolak jika kondisi hukum saat ini tergolong memprihatinkan.

"Dikatakan memprihatinkan, nggak juga. Tapi memang masih perlu diperbaiki, ditingkatkan," katanya.

Pihaknya pun, kata dia, terus menampung berbagai masukan untuk perbaikan tersebut, salah satunya melalui kegiatan diskusi tersebut. Nantinya, masukkan ke dalam RPJMN. ''Ini menjadi blueprint pada tahun 2014-2019, karena BAPPENAS sudah mulai concern untuk memperbaiki hukum," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement