REPUBLIKA.CO.ID, PEMATANGSIANTAR -- Seorang tokoh masyarakat Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, menilai, sistem multipartai tidak hanya menghabiskan anggaran rakyat yang sangat besar, tetapi juga merugikan sistem demokrasi Indonesia.
"Perpolitikan di Indonesia kacau balau yang berdampak pada demokrasi dan tatanan pemerintah Indonesia," ujar HM Natsir Armaya Siregar, di Pematangsiantar, Selasa.
Pria paruh baya yang telah lama meninggalkan dunia politik itu menjelaskan multipartai memunculkan banyak partai politik kecil yang lebih memainkan peran "bargaining" (tawar-menawar) ketimbang memperjuangkan kepentingan masyarakat.
"Tidak adanya partai yang dominan di dunia perpolitikan, dimanfaatkan partai kecil yang warnanya abu-abu untuk memuluskan kepentingan. Apalagi di Indonesia pembentukan partai politik itu lebih kepada peralihan kekuasaan. Terjadilah tawar menawar kepentingan," papar Armaya.
Contohnya dalam sekretariat bersama yang digalang Partai Demokrat, menurut penilaian Armaya, mengingat pembentukan lembaga ini bukan atas dasar kesamaan ideologi, tetapi lebih pada keperluan tawar-menawar (bargaining), akhirnya institusi tersebut tidak kuat.
"Dan ketika kepentingan partai atau kelompoknya terganggu, partai tersebut melakukan manuver sehingga membuat suasana tidak kondusif. Tatanan pemerintahan terganggu dan yang dirugikan tentu masyarakat," sebut Armaya.
Armaya mengusulkan agar jumlah partai politik lebih disederhanakan sebanyak empat partai dan tetap mempertahankan DPD supaya ada keseimbangan sehingga masyarakat lebih bisa melihat dan mengetahui partai yang benar-benar memperjuangkan rakyat.
"Nah untuk wakil dari DPD ditegaskan tidak menjadi pengurus atau anggota partai minimal 10 tahun supaya yang bersangkutan tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan bekas partainya dan juga menghindari adanya penyusupan orang partai di DPD," tandas Armaya.