REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Natsir Mansyur mendesak agar hasil audit distribusi gula rafinasi segera diumumkan.
Natsir mengatakan, perembesan gula rafinasi (GKR) ke pasar umum seolah menjadi lagu lama yang diputar berulang-ulang. Padahal, seharusnya gula rafinasi itu hanya diperuntukan untuk industri minuman dan makanan.
“Akibatnya, gula yang dihasilkan petani tidak dapat terserap oleh pasar karena belum mampu menghadapi persaingan,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima ROL, Ahad (10/11).
Dia menegaskan, hal tersebut merupakan dampak yang ditimbulkan karena kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indonesia dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Indonesia mengenai gula rafinasi bersifat spekulatif sehingga permasalahannya dapat berulang-ulang terjadi setiap saat.
Pihaknya meminta kepada Kemendag, Kemenperin, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia Komisi VI agar perembesan gula rafinasi ini tidak menjadi kebijakan pergulaan nasional yang spekulatif.
Pihaknya juga meminta hasil audit investigasi tahun 2011, 2012 dan 2013 tentang masalah perembesan gula rafinasi ke pasar umum ini agar dipublikasikan.
“Kita ingin semuanya menjadi jelas, sanksinya juga perlu diperjelas, selama ini pemerintah hanya melempar wacana bahwa dilakukan investigasi, tapi mana hasil investigasi itu selama 3 tahun,” tuturnya.
Pihaknya merasa janggal dengan hasil audit investigasi tersebut, karena di sisi lain di tahun 2013 ini, kuota impor gula mentah (raw sugar) ditambah menjadi 3,019 juta ton dari rencana semula yang hanya 2,3 juta ton.
“Kami juga meminta kepada pemerintah untuk menghentikan kebijakan spekulatif yang dilakukan selama ini. Pemerintah seharusnya tidak main main, karena gula petani (GKP) hancur terus apalagi saat ini lagi panen,” tuturnya.
Dia mengungkapkan, korban akibat perembesan gula rafinasi ini adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 14 di Sulawesi Selatan yang sudah tidak produksi lagi karena disana juga terdapat industri gula rafinasi. Sehingga PTPN 14 tidak mampu bersaing dengan industri gula rafinasi yang gulanya merembes kepasar umum.
Apegti mengimbau agar pemerintah menata kembali manajemen pergulaan nasional yang tiap tahun menimbulkan masalah.
“Pengadaan gula untuk di daerah seyogyanya diserahkan kepada pemerintah daerah dan pengusaha daerah untuk memenuhi kebutuhan gulanya, karena daerah dinilai mengetahui persis kebutuhan gula daerahnya sendiri,” ujarnya.