REPUBLIKA.CO.ID, SINGARAJA -- Masyarakat Sumberkelampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali utara, pada hari kedua pascaaksi pemblokiran jalan yang menghubungkan Kota Singaraja-Jembrana mengalami kesurupan massal, kemarin petang.
Kesurupan ini terjadi usai melakukan sembahyang di Pura tempat mereka kembali duduk di atas jalan yang telah dipasangi tenda. Saat itu sekaa gong memainkan instrumen gamelan.
Puluhan pria dan wanita tanpa komando kembali ke Pura Desa Sumberkelampok. Mereka menggoda setiap warga dengan suara agak keras dan lama-kelamaan instrumen gamelan semakin kencang dan suara riuh wargapun mengikutinya hingga sejumlah wanita mengalami kesurupan sambil mengambil keris.
Warga yang kesurupan lebih banyak wanita yang menusukkan keris yang dihunusnya itu ke bagian tubuhnya diikuti oleh sorakan warga yang membuat keadaan semakin histeris. Semakin lama warga yang kesurupan semakin banyak. Mereka lebih banyak wanita dari anak-anak hingga dewasa.
Menurut pemimpin ritual (Pemangku) setempat, Jero Mangku Barakan, kondisi itu terjadi pada saat-saat tertentu dan makna dari peristiwa itu adalah sebagai simbol membersihkan bhuwana agung (bumi) dari kekotoran yang terjadi. "Ini kehendak yang di atas semoga unjukrasa damai yang digelar masyarakat mendapat kesejahteraan," ujarnya.
Hingga Jumat petang (8/11) jalan jurusan Singaraja-Jembrana masih diblokir warga, sehingga puluhan kendaraan truk yang akan menuju Gilimanuk dan sebaliknya terpaksa antre di pinggir jalan sekitar sekitar satu kilometer dari lokasi desa Sumber Kelampok.
Sedang satu SSK pasukan Dalmas Kepolisian Resor Buleleng yang dipimpin Kepala Kepolisian Resor Buleleng Ajun Komisaris Besar Beny Arjanto siap siaga di Pos Polisi Sumberkelampok, sekitar satu kilometer dari lokasi penutupan jalan pertama dari arah timur.
Kepala Desa Sumber Kelampok Putu Artana mengatakan, upaya blokir jalan akan terus dilakukan hingga Gubernur Bali Made Mangku Pastika memberikan kepastian atas perjuangan selama 22 tahun lebih atas lahan yang telah mereka tempati.
Mereka menuntut sertifikat hak milik sekitar 600 hektare terdiri atas lahan bekas PT Margarana Unit II seluas 267 hektare, Unit III 151 hektare dan eks PT Dharmajati seluas 200 hektare yang semuanya HGU berakhir tahun 1993.