REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk mengatakan, berdasarkan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) PAN hanya meraih 5,2 persen suara, PPP 4,6 persen, PKB 4,6 persen, PKS 4,4 persen, dan PBB 0,6 persen.
Lemahnya dukungan terhadap parpol Islam terjadi karena infrastruktur partai lemah dan kaderisasi kurang.
"Parpol Islam pascareformasi dikategorikan menjadi parpol baru seperti PAN, PKB, PBB. Suara PPP sendiri juga pecah pasca runtuhnya Soeharto," kata Hamdi, Selasa, (5/11).
Parpol Islam, ujar Hamdi, merupakan parpol yang relatif baru makanya infrastrukturnya belum kuat. Masih jauh jika dibandingkan dengan infrastruktur parpol tua seperti Golkar dan PDIP yang sudah sangat kuat.
"Parpol baru, kalau tidak bisa mengelola infrastrukturnya dengan baik, suaranya bisa nyungsep. Sebagai contoh Demokrat yang suaranya terus menurun," kata Hamdi.
PPP, terang Hamdi, kaderisasinya lemah. Sedangkan PKS tidak bisa mengatasi masalah kadernya yang terkena korupsi padahal pada awalnya mengaku partai yang Islamis yang bersih dan anti korupsi.
"Kasus korupsi sendiri membuat kepercayaan masyarakat terhadap partai menjadi hilang. Kader-kader partai yang ada juga jarang memperlihatkan prestasi yang baik," ujar Hamdi.
Sejak Era Reformasi, kata Hamdi, bisa dikatakan partai Islam pecah. Suara Islam terbagi menjadi kecil-kecil ke berbagai partai seperti PPP, PKB, PAN, PKS, PBB.
Ini terjadi karena di Indonesia membuat partai itu berdasarkan kharisma. "Amien Rais berkharisma bikin PAN, Gusdur berkharisma bikin PKB, makanya suara Islam tidak menyatu," ujar Hamdi.
Agar parpol Islam naik elektabilitasnya, terang Hamdi, sebaiknya parpol-parpol Islam bergabung saja, melebur menjadi satu dengan mengesampingkan ego mereka masing-masing. Mereka juga harus mampu membuat platform revitalisasi ideologi Islam yang kekinian yang pada akhirnya bisa merubah keadaan menjadi lebih baik.
"Di era modern saat ini, kebijakan-kebijakan berbau syariah seperti hukum potong tangan jika mencuri tidak menjual di mata publik. Publik menginginkan kebijakan yang riil yang bisa membuat kehidupan ekonomi lebih maju, hukum lebih adil ditegakkan, dan masyarakat lebih aman dan sejahtera," kata Hamdi.
Kebijakan-kebijakan semacam itu, ujar Hamdi, tidak membutuhkan ideologi agama. Nilai-nilai umum yang cenderung sekuler sudah mengupayakan hal itu, makanya partai nasionalis lebih diminati saat ini.
Di Eropa, kata Hamdi, tidak perlu memiliki agama, namun negaranya sudah lebih baik maju, adil, dan masyarakatnya sejahtera. Ini tergantung bagaimana cara mengelola negara dengan baik.
Masyarakat, terang Hamdi, saat ini juga lebih cerdas. Mereka tidak bisa didoktrin agama secara mentah-mentah begitu saja.
Nasib parpol Islam, ujar Hamdi, saat ini paling mungkin hanya menjadi anggota koalisi bersama partai yang lebih kuat. Mereka tidak mungkin mengusung capresnya sendiri sebab tidak memiliki bargaining power.
Pencapresan, kata Hamdi, di tangan partai yang meraih suara mayoritas seperti PDIP dan Golkar. "Hatta Rajasa dari PAN masih memiliki peluang untuk menjadi calon wakil presiden sedangkan Muhaimin Iskandar dari PKB, levelnya hanya menjadi menteri, "katanya.