REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR RI Agus Purnomo mempertanyakan perilaku ambigu lembaga survei yakni melakukan survei sekaligus menjadi konsultan politik suatu partai politik.
"Melakukan survei dan menjadi konsultan politik adalah dua hal berbeda meskipun ada irisannya," kata Agus Purnomo pada diskusi "Dialog Pilar Negara: Etika Lembaga Survei" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin.
Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah Pimpinan Kelompok DPD RI di MPR RI Wahidin Ismail serta pengamat politik dari Lembaga Ilmi Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noer.
Menurut Agus Purnomo, lembaga survei fungsi utamanya melakukan survei terhadap partai politik dan calon anggota legislatif (caleg) dari partai politik secara independen.
"Survei yang dilakukan bisa berskala nasional maupun lokal," katanya.
Namun, dia melihat ada juga lembaga survei yang menjadi konsultan politik suatu partai politik, baik dalam menghadapi pemilu kepala daerah, pemilu legislatif, hingga pemilu presiden.
Menurut dia, jika lembaga survei menjadi konsultan politik maka persoalannya berbeda lagi, karena sudah meninggalkan wilayah independensi dan memasuki wilayah pemenangan untuk partai politik yang menjadi kliennya.
"Lembaga survei tersebut berusaha memenangkan partai politik atau caleg dari partai politik tersebut baik dalam pilkada maupun pemilu legislatif," katanya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini melihat kecenderungan lembaga survei yang menjadi konsultan politik adalah melakukan survei secara periodik untuk memonitor perkembangan publik sekaligus membentuk opini dari hasil surveinya.
Ia mencontohkan ada calon kepala daerah yang beberapa bulan sebelum pelaksanaan pilkada, popularitas dan elektabilitasnya masih rendah, namun menjelang pelaksnaan pilkada popularitas dan elektabilitasnya sudah tinggi.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noer menilai ada lembaga survei yang bekerja profesional dan independen tapi ada juga lembaga survei yang bekerja untuk menyenangkan lembaga pemesannya.
Karena itu, Firman mengusulkan agar lembaga-lembaga survei di Indonesia membentuk lembaga profesi sendiri seperti asosiasi lembaga survei.
Di lembaga profesi yang dibentuk tersebut, lembaga-lembaga survei mengatur kode etik dan bagaimana berperilaku sehingga lembaga survei bisa bersikap independen dan mendapat kepercayaan tinggi dari masyarakat.
Dengan adanya lembaga profesi tersebut, kata dia, maka lembaga survei seharusnya lebih transparan, termasuk sumber pendanaannya, serta bertanggung jawab atas hasil surveinya.