Sabtu 02 Nov 2013 23:12 WIB

Pemerintah Diminta Kepastian Hukum Soal Kenaikan Upah

Rep: Fenn/ Red: Dewi Mardiani
Tenaga kerja terampil Indonesia - ilustrasi
Tenaga kerja terampil Indonesia - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR, Indra, mengatakan pada prinsipnya pengusaha dapat menjalankan kenaikan upah asalkan ada kepastian hukum dari pemerintah. Kepastian hukum tersebut menurutnya diperlukan agar pengusaha memiliki rencana ke depan mengenai proses produksi dan seterusnya.

"Kepastian hukum inilah domainnya negara," katanya pada diskusi Polemik "Buruh Mengeluh Pengusaha Berpeluh" SindoTriJaya FM di Warung Daun Cikini Sabtu (2/10).

Menurut Indra berdasarkan data biaya produksi dari World Bank, dari 100 persen biaya produksi, labour cost yang menjadi beban pengusaha sekitar 9-12 persen dari total biaya produksi. Yang menarik, kata dia, biaya tinggi justru ada pada biaya 'pungli' sekitar 19-24 persen.

"Ini menunjukkan negara gagal memberikan iklim investasi yang bagus yang berujung pada buruknya kesejahteraan buruh," ujarnya.

Menurutnya jika pemerintah meniadakan 'pungli-pungli' tersebut, maka akan menambah daya saing perusahaan sehingga berujung pada meningkatnya kesejahteraan buruh. Buruh pun, lanjutnya, tidak akan demo menuntut upah.

Lebih lanjut Indra mengatakan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum aturan ketenagakerjaan oleh pemerintah menyebabkan akhirnya buruh mengambil tindakan sendiri. Ia mencontohkan tidak adanya pelaksanaan hukuman pidana kepada perusahaan yang tidak memenuhi aturan kenaikan upah minimum.

"Masih banyak perusahaan yang membayar pekerjanya di bawah upah minimum tapi tidak ada tindakan tegas dari pemerintah," ujar politisi dari PKS itu.

Low inforcement yang lemah itulah, kata Indra, yang menyebabkan konflik terjadi antara buruh dan pengusaha. "Januari 2014 pasti banyak perusahaan yang membayar upah minimum sesuai kesepakatan. Ketika itu, maka pemerintah harus hadir menertibkan perusahaan yang enggan membayar kenaikan upah minimum sesuai yang telah ditetapkan sebelumnya," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement