REPUBLIKA.CO.ID, Direktur Program Studi Asia Universitas Sydney, Australia, Prof Adrian Vickers, khawatir bahasa daerah di pelosok Tanah Air punah penutur bahasa daerah tersebut lebih banyak hidup di bawah garis kemiskinan.
"Berkurangnya penutur bahasa daerah itu bisa juga akibat mengalami marjinalisasi sosial seperti bahasa penduduk asli pada sejumlah suku di Australia," katanya sebagaimana ditirukan Nyoman Gunarsa selaku penggagas 'International Festival of Balinese Language' (IFBL), Sabtu.
Gunarsa sebagai pendiri dan pemilik Museum Seni Lukis Klasik Bali di Semarapura, Kabupaten Klungkung, menerima masukan dari para ahli bahasa di mancanegara, termasuk Adrian Vickers.
Festival Internasional Bahasa Bali digelar pada 8 November mendatang melibatkan peserta dari sembilan negara, antara lain Australia, Belanda, Italia, Swiss, Prancis, Belgia, Amerika Serikat, Jepang, dan India serta tuan rumah.
Adrian Vickers memastikan kehadirannya melalui surat elektronik yang mengomentasi tentang kegiatan yang baru pertama kali digelar di Pulau Dewata.
Menurut dia, kemiskinan bukan merupakan ancaman bagi bahasa Bali, namun sebaliknya ancaman itu muncul karena keberhasilan industri pariwisata di Pulau Dewata.
"Kemakmuran yang dimiliki oleh masyarakat Bali, secara paradoks mengancam kelanjutan kehidupan bahasa daerah Bali. Semua bahasa umumnya mengalami evolusi dan perubahan, dan Bahasa Bali telah mengalami proses perubahan itu karena hirarki sosial yang mendorong timbulnya tingkatan yang membuatnya menjadi lebih egalitarian," ujarnya.
Namun perubahan secara alami tersebut diperlemah oleh adanya faktor sosial dan kelembagaan. Secara sosial, industri pariwisata merupakan dorongan yang sangat kuat bagi masyarakat Bali untuk mempelajari bahasa asing seperi bahasa Inggris, Jepang dan bahkan bahasa Rusia.
"Membanjirnya kaum urban di Pulau Dewata semata-mata bertujuan untuk bekerja di sektor pariwisata. Di sisi lain kurangnya dukungan kelembagaan terhadap bahasa Bali di sektor pendidikan," katanya.
Bahkan yang lebih menyedihkan lagi adalah pengajaran kesusastraan Bali yang merupakan aspek utama terhadap keberlanjutan penggunaan bahasa tidak lagi merupakan pelajaran utama di sekolah.
Sementara jumlah mahasiswa yang mengambil jurusan bahasa dan sastra Bali, termasuk bahasa Kawi (Jawa kuno) mengalami penurunan sangat tajam.
"Memang sangat menyedihkan bahwa saat ini sangat jarang generasi muda Bali yang bisa membaca aksara Bali, sementara bahasa Bali juga secara terus-menerus tercemar oleh bahasa Indonesia," kata Vickers yang lama melakukan penelitian tentang bahasa daerah Bali di Pulau Dewata.