REPUBLIKA.CO.ID, GORONTALO -- Ketua Bawaslu RI, Muhammad mengatakan terjadinya pencurian suara paling rawan saat tahap rekapitulasi di tingkat desa/ kelurahan dan tingkat kecamatan.
"Pada pemilu 2009, praktik pencurian suara seperti ini dilakukan dengan mudah. Jumlah suara seorang calon legislatif justru tidak dimanipulasi di Tempat Pemungutan Suara," ujarnya saat Pelatihan Pengawasan Pemilu bagi media massa dan organisasi masyarakat di Gorontalo, Sabtu (2/11).
Kecurangan jarang dilakukan di TPS karena banyak saksi dan warga yang mengikuti jalannya perhitungan suara. Namun, kata dia, di tingkat kecamatan para pencuri suara itu lebih leluasa mendongkrak jumlah suara dengan cara memindahkan angka dari caleg lain.
"Dengan cara-cara seperti ini, caleg yang unggul di TPS beda, di kecamatan beda, bahkan yang dilantik pun bisa berbeda," katanya menambahkan.
Untuk mencegah pencurian suara, Muhammad meminta partisipasi masyarakat untuk mengawasi dan melaporkan adanya manipulasi yang terjadi.
Menurut dia, pengawasan pemilu tidak akan maksimal bila hanya dilakukan Bawaslu, karena keterbatasan tenaga atau petugas yang bisa diturunkan oleh lembaga penyelenggara tersebut.
"Kami berharap seluruh kalangan masyarakat berpartisipasi aktif terutama saat rekapitulasi suara, itulah saat yang paling tepat untuk mengawal jalannya pemilu," tuturnya.
Dalam pelaksanaan pemilu tahun 2014, Muhammad mengatakan KPU membuat terobosan baru dengan mencetak Form C1 yang menggunakan hologram sehingga tidak bisa dipalsukan.