REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih 30 tahun lalu, tepatnya 7 April 1980 sebuah perhelatan akbar dilangsungkan di Provinsi Sumatera Utara, tepatnya di desa Paritohan, Kabupaten Toba Samosir. Suasana pesta meriah aneka warna hiasan, bendera Merah Putih dan bendera Matahari Terbit berkibar untuk menunjukkan suatu keperkasaan dalam sejarah hubungan Indonesia-Jepang.
Ribuan rakyat setempat dan pejabat tinggi berbagai negara, terutama Indonesia dan Jepang, hadir untuk menyaksikan peristiwa besar itu. Pasalnya, Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto meresmikan proyek raksasa patungan kedua negara dengan melakukan peletakan batu pertama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Lebih meriah lagi upacara itu diselenggarakan dengan tata cara adat Jepang dan tradisi lokal Sumatera Utara.
Inilah awal dimulainya pembangunan proyek alumunium Indonesia - Jepang. Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) berupa bauksit yang tersimpan jutaan ton di perut bumi Sumatera Utara itu untuk diolah menjadi alumunium yang sangat dibutuhkan dunia, khususnya Jepang sebagai negara industri yang miskin SDA. Dan Jepang bersinergi dalam proyek ini dalam bentuk modal besar dan teknologi canggih.
PT Inalum membangun dan mengoperasikan PLTA yang terdiri dari setasiun pembangkit listrik Sigura-gura dan Tangga yang terletak di desa Paritohan, Kabupaten Toba Samosir. Stasiun pembangkit ini dioperasikan dengan memanfaatkan air sungai Asahan yang mengalirkan air Danau Toba ke Selat Malaka. Pembangunan PLTA dimulai pada 9 Juni 1978, sedang pembangunan setasiun pembangkit listrik di bawah tanah Sigura-gura dimulai pada 7 April 1980.
Turbinnya teletak diperut bumi sekitar 20 meter dan untuk mencapainya digunakan lift yang mengantarkan karyawan ke bawah dan keatas bumi. Mungkin ini merupakan lift ke empat setelah lift di gedung Sarinah, gedung Wisma Nusantara dan Hotel Indonesia yang semuanya berada di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, yang merupakan gedung-gedung tinggi modern pertama yang dibangun dengan pampasan perang Jepang.
PLTA dikerjakan selama lima tahun dan diresmikan oleh Wakil Presiden Umar Wirahadikusuma pada 7 Juni 1983. Total kapasitas tetap 426 Megawatt (MW), seluruhnya dipergunakan untuk pabrik peleburan (smelter) di Kuala Tanjung.
Peleburan alumunium
PT Inalum membangun pabrik peleburan (smelter) alumunium dan fasilitas pendukungnya di area seluas 200 hektare (ha) di Kuala Tanjung, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batu Bara, sekitar 110 km dari Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Pabrik peleburan dengan kapasitas terpasang 225.000 ton alumunium per tahun ini dibangun menghadap ke arah Selat Malaka.
Pembangunan pabrik peleburan yang dimulai pada 1 Juli 1979 dan tahap pertama operasi dimulai pada 20 Januari 1982 ini, diresmikan oleh Presiden Soeharto didampingi oleh 12 menteri Kabinet Pembangunan II. Operasi pot pertama dilakukan pada 15 Februari 1982 dan Maret 1982, alumunium ingot (batangan) pertama pun berhasil dicetak.
Sukses pembangunan ini tidak lepas dari arahan dari arsitek pembangunan nasional Presiden Soeharto yang memulai kekuasaan rezimnya dengan membuka pintu bagi modal asing, yang kemudian diteruskan oleh rezim-rezim kekuasaan sesudahnya. Karena banyak keberhasilannya dalam pembangunan ekonomi nasional, Presiden Soeharto pun dianugerahi gelar sebagai Bapak Pembangunan Indonesia.
Pada 14 Oktober 1982, kapal Ocean Prima memuat 4.800 ton alumunium ingot meninggalkan Kuala Tanjung menuju Jepang dalam rangka ekspor produk Inalum dan membuat Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor alumunium di dunia. Produksi ke satu juta ton berhasil dicetak pada 8 Februari 1988, ke dua juta ton pada 2 Juni 1993, ke tiga juta ton pada 12 Desember 1997, keempat juta ton pada 16 Desember 2003 dan ke lima juta ton pada 11 Januari 2008.
Awalnya
Jepang sejak awal pasti sudah tahu potensi SDA di Indonesia. Konon, sebelum menginvasi beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, banyak orang Jepang berdatangan dengan menyamar sebagai pedagang, nelayan dan sebagainya. Dipercaya, mereka justru meneliti potensi yang ada karena didesak kelangkaan SDA di negeri sendiri.
Ketika benar benar terjadi invasi maka mereka langsung menggarapnya dan membawanya ke Jepang. Tapi banyak juga yang belum sempat mereka gali karena pada 1945 tentara Jepang menyerah akibat jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki di Jepang oleh Angkatan Udara Amerika Serikat.
Data yang tersimpan itulah yang kemudian hari dipergunakan oleh Jepang untuk mendekati Asia baik sebagai pasar produknya maupun menggarap potensi SDA. Pertengahan 1965 Jepang mulai mendekati pemerintah Indonesia dan menawarkan kerja sama, dimulai dengan memberikan pampasan (ganti rugi) perang.
Di masa penjajahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda sudah mencoba memanfaatkan potensi sungai Asahan yang mengalir dari Danau Toba untuk menghasilkan listrik, namun gagal. Usaha inilah yang kemudian diteruskan oleh Jepang pada 1972 dengan menyerahkan laporan konsultan Jepang, Nippon Koei, berisi studi kelayakan proyek PLTA dan alumunium Asahan. Isi laporan itu adalah, bahwa PLTA laik dibangun dengan sebuah peleburan alumunium sebagai pemakai utama listrik yang dihasilkannya.
Setelah melalui perundingan yang panjang, pada 7 Juli 1975 kedua negara menandatangani Perjanjian Induk untuk PLTA dan pabrik peleburan alumunium dengan melibatkan 12 perusahaan investor Jepang yang membuat sebuah konsorsium bernama Nippon Asahan Alumunium Co.Ltd (NAA) yang berkedudukan di Tokyo pada 25 November 1975.
Untuk melaksanakan ketentuan dalam Perjanjian Induk, pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Presiden nomor 5/1976 yang melandasi terbentuknya Otoritas Pengembangan Proyek Asahan sebagai wakil pemerintah Indonesia yang bertanggung jawab atas lancarnya pembangunan dan pengembangan proyek Asahan dengan Menteri Perindustrian A.R. Soehoed sebagai kepala Otorita.
Inalum merupakan pelopor dan menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak dalam bidang industri peleburan alumunium dengan investasi 411 milyar yen. Produk yang dihasilkan adalah alumunium batangan (ingot) dengan berat per batangnya 22,7 kg. Pada 11 Januari 2008 diakui sebagai 10 teratas produsen alumunium diantara 143 produsen alumunium di berbagai negara dan satu-satunya di Asia Tenggara dan menjadikannya perusahaan kelas dunia dalam bidang alumunium dan industri terkait.
Sejak 2003 Inalum berhasil meningkatkan produksi melampaui kapasitas produksi terpasang 225.000 ton. Pada 2007 mampu memproduksi 241.322 ton yang berkualitas tinggi, memperoleh sertifikat ISO 9001-2000 atas jaminan standar internasional untuk mutu produksi instalasi dan services. Produknya 60 persen diekspor ke Jepang dan 40 persen diserap pasar domestik dan diekspor ke negara lain.
Akhirnya
Kini saatnya semua itu berubah. Sesuai Perjanjian Induk, kontrak Jepang selesai pada 31 Oktober 2013 dan per 1 November 2013 akan menjadi milik Indonesia 100 persen.
Seandainya Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Umar Wirahadikusuma masih ada mereka adalah orang-orang pertama yang paling bangga dan berbahagia menyaksikan Inalum kembali ke tangan Indonesia.
Tadinya memang masih ada ganjalan dalam perundingan akhir menjelang penyerahan Inalum kepada Indonesia yaitu mengenai perhitungan nilai buku. Jepang berpegang pada nilai buku setelah revaluasi tahun 1998, sedang Indonesia pada nilai buku sebelum revaluasi yang perbedaannya mencapai 260 juta dolar AS. atau sekitar Rp2,6 triliun.
Perundingan ini berjalan alot, namun dipastikan tidak akan menghambat penyerahan Inalum kepada Indonesia. Jika belum juga tercapai kesepakatan, Jepang akan membawanya ke arbitrase internasional. Terakhir Indonesia mulai melunak dengan menaikkan tawaran pembelian kembali Inalum dari 424 juta dolar AS menjadi maksimal 558 juta dolar AS.
Sekiranya pihak Jepang mau merenung selama satu menit saja tentang kekerasan dan penindasan terhadap rakyat Indonesia selama menduduki wilayah Nusantara ini, angka 558 juta dolar AS itu tidak mempunyai arti apa-apa untuk mempertahankan hubungan baik dan persahabatan kedua bangsa dan menatap kerj asama masa depan secara lebih prospektif lagi.
Alhamdulillah, akhirnya Jepang bersedia atau setuju dengan angka tawaran Indonesia itu. Mengenai status PT Inalum sendiri, pemerintah malalui Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa sudah memutuskan tidak menyerahkannya kepada Kementrian BUMN seperti selama ini diwacanakan, tetapi selama satu tahun masa transisi akan berada di bawah Kementerian Keuangan.
Kelak pemerintah Provinsi Sumatera Utara beserta 10 kabupaten/kota sekawasan Danau Toba memiliki saham sebesar 30 persen dan pemerintah pusat 70 persen. DPR-RI mendukung pola transisi dan pembagian saham tersebut. Ini adalah cara penyelesaian yang terbaik, "win-win solution" yang mencapai "happy ending" buat semua pihak.
Tanggal 1 November 2013 patut dirayakan secara besar-besaran, setidaknya menurut adat Batak, seperti ketika proyek ini diresmikan 38 tahun lalu, sebagai pertanda telah kembalinya PT Inalum ke tangan bangsa dan rakyat Indonesia. Marhaban, Ya Inalum. Selamat Kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. (M. Aminuddin)