REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Gubenur Riau Rusli Zainal telah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di penjara dan segera mengakhiri masa jabatan pada 21 November 2013. Meski demikian ia paling sering melakukan rotasi penjabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.
Setidaknya Rusli Zainal telah melakukan rotasi pejabat Pemprov Riau sebanyak tiga kali terhitung mulai penetapan status tersangka korupsi suap PON dan izin kehutanan oleh KPK pada 8 Februari lalu hingga ditingkatkan menjadi tahanan tanggal 14 Juni 2013.
Rotasi jabatan kerap dilakukan di Gedung Daerah, Jalan Diponegoro, Pekanbaru yang dipimpin oleh Sekertaris Daerah (Sekda) Provinsi Riau Wan Syamsir Yus pada Kamis (28/3). Ada sekitar 200 pejabat dari eselon II, III dan IV yang dirotasi.
Kemudian pada Kamis (13/9), Sekdaprov Riau Zaini Ismail melakukan pelantikan yang terkesan diam-diam karena dilakukan sore hari atau sekitar pukul 17.00 Wib yang merotasi terhadap tujuh pejabat eselon II Pemprov Riau.
Terakhir pada Jumat (25/10), mendadak gubernur Riau di sisa masa jabatan yang tidak sampai satu bulan lagi melakukan mutasi besar-besaran dari mulai eselon II, III dan IV yang berjumlah 109 orang oleh Sekdaprov Riau Zaini Ismail.
Padahal Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi telah mengeluarkan surat edaran akhir tahun lalu Nomor 800/5335/SJ tanggal 27 Desember 2012 yang melarang mutasi jabatan menjelang pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah termasuk Provinsi Riau.
Dosen hukum tata Negara dari Universitas Riau Mexasai Indra mengatakan, mutasi yang dilakukan diduga telah melanggar Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian terutama pasal 12 yang menjelaskan pejabat menduduki jabatan struktural harus sesuai dengan pangkatnya.
"Mesti harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan seorang kepala daerah dalam melakukan proses mutasi jabatan itu harus terukur. Dalam artian pertimbangan-pertimbangan yang bertujuan untuk efektifitas dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah," katanya.
Sementara yang terjadi selama ini, lanjutnya, ada kecendrungan proses pengisian jabatan penuh dengan unsur politis dengan adanya dugaan-dugaan yang melanggar atau keluar dari norma yang berlaku.
Ia juga menduga banyak kasus khususnya pada level jabatan eselon II seperti kepala dinas, birokrat cenderung diseret masuk dalam wilayah politik praktis menjelang pemilihan kepala daerah.
"Ini yang berbahaya. Proses pergantian yang sering dilakukan tanpa motivasi yang jelas, juga berbahaya terhadap pengembangan karier seorang Pengawai Negeri Sipil," jelasnya.