REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan sangkaan baru untuk Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) nonaktif, Akil Mochtar terkait penerimaan suap dari penanganan sengketa pilkada selain di Kabupaten Gunung Mas dan Lebak.
Kuasa hukum Akil, Otto Hasibuan mempertanyakan etika hukum KPK karena telah menetapkan sangkaan baru yang tidak jelas kepada kliennya.
"Sampai sekarang Akil tidak pernah diberitahu adanya sangkaan baru, kuasa hukum juga tidak tahu, KPK di mana etikanya?" kata Otto yang dihubungi Republika, Rabu (23/10).
Otto menjelaskan ketika KPK menambahkan sangkaan baru kepada tersangka, maka seharusnya tersangka harus diberitahukan terlebih dahulu. Hal ini agar tersangka dapat mempersiapkan pembelaan terhadap sangkaan baru tersebut. Baru setelah itu diumumkan kepada masyarakat melalui para wartawan.
Akan tetapi, ia melanjutkan, saat ini yang terjadi malah berkebalikan. KPK lebih memilih untuk mengumumkan kepada media mengenai sangkaan baru kepada Akil. Ia mempertanyakan alasan KPK untuk tidak memberitahukan sangkaan baru ini kepada pihaknya.
Selain itu, ia juga mempertanyakan kejelasan sangkaan baru tersebut. Kalau memang Akil disangkakan menerima suap dari penanganan sengketa pilkada lainnya, ia pun menantang KPK untuk menyebutkan pihak dari pilkada daerah mana yang telah memberikan suap kepada Akil.
Ia juga meminta KPK untuk menyebutkan pemberi suap untuk sangkaan baru kepada Akil ini. Seharusnya KPK juga menyebutkan siapa pihak yang menjadi tersangka pemberi suap dalam sangkaan baru ini.
"Kita masih menunggu kejelasan dari KPK mengenai sangkaan baru kepada klien kami. Karena seperti yang dikatakan pak Akil, ia tidak pernah menerima suap terkait pilkada, termasuk dari pilkada Lebak dan Gunung Mas," kata Otto menjelaskan.
Sementara itu, juru bicara KPK, Johan Budi SP mengatakan informasi mengenai sangkaan baru terhadap tersangka yang juga Ketua MK nonaktif, Akil Mochtar akan diberitahukan pada saat pemeriksaannya sebagai tersangka.
Saat ini tim penyidik KPK masih melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi terkait kasus suap penanganan pilkada di Lebak dan Gunung Mas.
Sedangkan Akil baru dilakukan pemeriksaan sebanyak satu kali setelah resmi ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dari dua daerah tersebut.
Ia juga menegaskan sangkaan baru yang ditetapkan kepada Akil juga telah memiliki dua alat bukti yang cukup. "KPK tidak main-main dalam mempersangkakan seseorang. Nanti kalau diperiksa pasti akan ditanyakan (mengenai sangkaan baru kepada Akil)," katanya menegaskan.
Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) di rumah dinas Ketua MK nonaktif, Akil Mochtar di Jalan Widya Chandra III Nomor 7, Jakarta Selatan pada 2 Oktober 2013 malam.
Sehari kemudian KPK menetapkan enam orang tersangka terdiri dari empat orang tersangka terkait pilkada Gunung Mas dan tiga tersangka terkait pilkada Lebak.
Akil menjadi tersangka penerima suap dengan jeratan pasal 12 huruf c UU Nomor 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau pasal 6 ayat 2 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Akil Mochtar menjadi tersangka penerima suap dari dua daerah itu. Sedangkan untuk barang bukti dalam bentuk uang sekitar Rp 3 miliar terkait pilkada Gunung Mas dan Rp 1 miliar terkait pilkada Lebak. Dalam penggeledahan di rumah pribadi Akil, tim KPK juga menyita uang sebanyak Rp 2,7 miliar.
KPK juga menggeledah rumah pribadi Akil di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan dan ruang kerja Akil selaku Ketua MK di Gedung MK. Dari rumah pribadinya, KPK menyita tiga unit mobil mewah.
Sedangkan di ruang kerjanya, KPK menemukan narkotika dalam bentuk ganja sebanyak tiga linting masih utuh dan satu linting sudah digunakan serta sabu dalam bentuk pil sebanyak dua butir. Badan Narkotika Nasional (BNN) sedang menyelidiki kepemilikan narkotika tersebut.
KPK juga telah menetapkan sangkaan baru terhadap Akil terkait penerimaan suap dari pilkada lainnya. Rupanya uang sebanyak Rp 2,7 miliar dan mobil mewah yang telah disita KPK merupakan barang bukti untuk sangkaan baru tersebut.