REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wasekjen Partai Golkar Nurul Arifin menilai, presiden tidak memiliki prasyarat untuk mengeluarkan Perppu Mahkamah Konstitusi (MK).
"Sebuah Perppu tidak dibuat dalam ruang hampa sosial. Namun ada konteks extraordinary yang mengharuskan perppu dikeluarkan. Yakni keadaan bahaya atau kegentingan yang memaksa. Situasi nasional dan situasi di MK tidak sedang terjadi kegentingan atau keadaan bahaya," kata Nurul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (17/10).
Menurutnya, jika ketua MK nonaktif Akil Mochtar ditangkap KPK karena korupsi, tidak berarti lembaganya secara institusional akan roboh. "Menurut saya, jika ada pencuri dalam rumah jangan bakar rumahnya. Tapi tangkap pencurinya saja dan benahi kembali rumah yang rusak karena kebobolan si maling tersebut," ujarnya.
Apalagi, tambahnya, penekanan perppu tersebut sudah ada dalam UU MK. Yakni persyaratan hakim konstitusi, pemilihan dan penjaringan hakim konstitusi, dan pengawasan terhadap MK.
"Tinggal persyaratannya yang diperketat, sementara penjaringan sudah jelas diusulkan oleh siapa dan mekanisme pengawasan eksternal," kata anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR tersebut.
Mengenai pengaturan mekanisme pengawasan eksternal, lanjutnya, bukan saja UU MK yang harus dilihat. Tapi juga harus disinkronkan dengan UU KY.
"Sudah dua kali MK membatalkan konsep pengawasan eksternal, yakni pembatalan terhadap UU Nomor 22/2004 tentang KY dan pembatalan terhadap UU MK hasil revisi. Terutama terkait dengan nomenklatur pengawasan eksternal," kata Nurul.
"Presiden dalam konstitusi berhak mengajukan RUU. Maka diajukan saja RUU perubahan atas RUU MK dan perubahan RUU KY sekaligus. Kita kembalikan konsep pengawasan oleh KY untuk memperkuat pengawasan terhadap MK. Jika hanya tiga hal itu yang diatur oleh Perpu, saya rasa perppu itu akan sia-sia," pungkas Nurul.