REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Refly Harun mengatakan, selama ini terjadi kekeliruan dalam penyelesaian sengketa pemilukada.
Mahkamah Konstitusi (MK) cenderung dijadikan sebagai lompatan terakhir penampung sengketa yang harusnya bisa diselesaikan oleh lembaga penyelenggara pemilu.
Mulai dari Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
"MK itu jumping-up. Penyelesaian di tingkat KPU, Bawaslu, DKPP tidak cukup efektif atau sengaja tidak diefektifkan. MK dijadikan kotak sampah, dan kotak sampah itu disediakan dan dipancing oleh MK sendiri," kata Refly di Jakarta, Ahad (13/10).
Kasus penangkapan mantan ketua MK Akil Mochtar, menurut Refly, secara tidak langsung membuktikan upaya menjadi tempat sampah. Lantaran ternyata penyelesaian segketa pemilukada di MK tidak lepas dari transaksi suap.
Posisi MK sebagai lembaga akhir yang diyakini bisa menjamin kemenangan peserta pemilukada, juga memicu terjadinya suap menyuap antara yang berperkara dan pemutus perkara.