REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi II DPR menyatakan kesimpangsiuran data pemilih tidak terlepas dari belum sinkronnya data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan data Kementerian Dalam Negeri.
Padahal penyandingan data dengan sistem yang telah terintegrasi dinilai akan mempermudah pengecekan kemutakhiran daftar pemilih.
"Tidak ada proses integrasi, dan sebenarnya UU Pemilu memerintahkan sistem pemutakhiran data pemilih itu harus diintegrasikan dengan sistem informasi dan administrasi milik Kemendagri," kata Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PDI Perjuangan Arif Wibowo, usai rapat pembahasan DPT dengan KPU dan kemendagri di Jakarta, Rabu (25/9)i.
Selain itu, menurut Arif, sistem informasi data pemilih (sidalih) yang dimiliki KPU belum diujipublikkan di hadapan DPR. KPU hanya melakukan simulasi secara acak.
"Selama ini menurut hemat kami belum ada uji publik. Kami mintanya di depan DPR yang uji publik," ungkapnya.
Oleh sebab itu, atas waktu yang tersisa sebelum rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT) pada 23 Oktober nanti, KPU diharapkan segera menyandingkan dan mengintegrasikan sidalih dengan sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK) Kemendagri.
Penyandingan harus dilakukan secara menyeluruh di semua kabupaten/ kota. "Kami minta kepada KPU untuk 'melakukan pengecekan' terhadap keseluruhan data pemilih. Dan kami berkesimpulan bersama bahwa DPT bisa ditetapkan dan diumumkan kepada publik sepanjang akurasinya tinggi," kata Arif menjelaskan.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan sidalih yang dimiliki KPU belum terintegrasi dengan sistem kependudukan Kemendagri. Sehingga wajar bila saat disandingkan, terdapat perbedaan pembacaan data.
Namun, kedua sistem tersebut sama-sama dibangun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Dan saat ini sedang diselaraskan agar sinkronisasi data bisa berjalan baik. "Ini karena on-going process, belum final jadi belum diketahui ketidaksamaan itu di mana," ujar dia.
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan sidalih dan SIAK memang berdiri sendiri-sendiri dan belum terintegrasi. Penyandingan data yang direkomendasikan Komisi II DPR menurutnya juga dilkaukan dengan sistem masing-masing.
"Data sidalih dikumpulkan dalam bentuk cakram atau semacam disk. Nanti dibaca dalam sistem Kemendagri, lalu diconvert dalam sistem mereka," jelas Hadar.
Bila ditemukan perbedaan, menurut Hadar merupakan kewajaran. Karena perbedaan format, misalnya saat dipindah ke dalam microsoft excel.
Pembacaan digit nomor induk kependudukan (NIK) yang harusnya 16 digit, hanya terbaca 15 digit. Sehingga, sistem secara otomatis menganggap NIK dengan jumlah angka tidak valid sebagai data tanpa NIK.
"Jadi ini murni kendala teknis, bisa saja namanya masuk tapi NIK nya nol. Sedangkan daftar pemilih yang valid itu kan yang ada nama, jenis kelamin, alamat, dan NIK nya," ungkap Hadar.