Jumat 20 Sep 2013 03:16 WIB

10 Pelajaran yang Didapat SBY Selama Atasi Konflik di Indonesia

Rep: Esthi Maharani/ Red: Mansyur Faqih
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (tengah) didampingi Mendikbud M Nuh (kanan) dan Rektor Universitas Syiah Kuala Samsul Rizal (kiri) menghadiri rapat senat terbuka di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, NAD, Kamis (19/9). Presiden dianugerahi gelar Doctor
Foto: Antara
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (tengah) didampingi Mendikbud M Nuh (kanan) dan Rektor Universitas Syiah Kuala Samsul Rizal (kiri) menghadiri rapat senat terbuka di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, NAD, Kamis (19/9). Presiden dianugerahi gelar Doctor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam orasi ilmiah yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelum dikukuhkan dan mendapatkan gelar doctor honoris causa bidang ilmu hukum perdamaian, ia menyebut mendapatkan banyak pelajaran. Terutama ketika menyelesaikan konflik di Aceh dan daerah lain di Tanah Air. 

"Di balik musibah dan proses panjang perdamaian di Aceh, banyak pelajaran berharga yang dapat kita petik," katanya, Kamis (19/9) malam.

Pertama, ia percaya seberat apa pun konflik selalu ada solusinya. Kedua, setiap konflik punya ciri dan kepribadian sendiri. Tidak ada dua konflik yang sama. Setiap konflik memiliki karakter, persoalan, dan dinamikanya sendiri.

Ia menyebut ketika bersama elemen pemerintah yang lain menyelesaikan konflik komunal di Sampit, Poso dan Ambon. Kemudian mengakhiri konflik Indonesia-Timor Leste dan Aceh. Semuanya memiliki strategi kebijakan pendekatan dan cara yang berbeda-beda. 

Ketiga, adalah lebih baik mencegah ketimbang menyelesaikan sebuah konflik yang telah meletus. Mencegah lebih baik dan murah, lebih aman, lebih cepat, dan lebih efektif. Keempat, resolusi serta rekonsiliasi dan reintegrasi pasca-konflik memerlukan kepemimpinan yang kuat dan efektif. Pemimpin tingkat nasional, lanjutnya, harus memiliki visi, konsep, dan pemikiran yang segar tapi realistis. "Dalam hal ini pemimpin harus mampu thinking outside the box," katanya.

Menurutnya, pemimpin resolusi konflik juga mesti memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang sulit. Meski terkadang berlawanan dengan arus besar yang ada dan berani mengambil resiko politik yang dapat menyebabkan kejatuhannya. Tanpa kepemimpinan proses perdamaian tidak akan memiliki kekuatan dan arah dan pada akhirnya tidak akan berhasil. 

"Ketika pemerintahan yang saya pimpin mulai memperjuangkan proses perdamaian di Aceh pasca-tsunami, hal itu bukan sesuatu populer untuk dilakukan. Ada risiko yang tinggi bagi saya jika proses itu gagal, apalagi saya belum genap setahun menjadi presiden waktu itu. Namun, saya mengambil keputusan itu karena saya tahu masa depan Aceh pasca-tsunami akan makin gelap dan makin tidak menentu tanpa adanya perdamaian," katanya. 

Kelima, ketika sebuah konflik belum dapat diselesaikan, maka harus dikelola dengan baik. Jika persyaratan untuk terjadinya resolusi konflik tidak terpenuhi, sebaiknya jangan dipaksakan. Tapi dijaga agar konflik tidak meluas dan tetap dapat dikelola dan dikendalikan.

Keenam. setiap konflik selalu ada peluang dan kesempatan yang tiba-tiba datang untuk mengakhirinya. Kesempatan itu biasanya kecil dan hanya sekejap. "Bagian tersulit dari bagi seorang pemimpin adalah untuk secara cerdas dan cepat mengenali peluang itu dan tidak melewatkannya," katanya.  

Ketujuh, untuk menyelesaikan sebuah konflik diperlukan pendekatan yang pragmatis, fleksibel dan menjangkau jauh ke depan. Pendekatan yang rijid dan dogmatis diyakininya akan sulit menghasilkan solusi. "Menetapkan sebuah opsi dalam perdamaian membutuhkan banyak mendengar dan sering harus melawan asumsi-asumsi lama," katanya. 

Kedelapan, hal penting untuk dicapai dalam suatu perjanjian damai adalah membangun kepercayaan di antara para pihak yang berkonflik. Karenanya, penting untuk menciptakan prakondisi bagi sebuah proses damai. "Apa yang saya lakukan bersama pihak lain sejak 2000-2004, hakikatnya juga untuk membangun kepercayaan," katanya. 

Kesembilan, yang lebih penting dari menciptakan perdamaian adalah menjaganya. Ia mengatakan banyak sekali contoh dalam sejarah, sebuah perdamaian yang diraih dengan sulit runtuh karena para pemangku kepentingan menjadi berpuas diri setelahnya. 

Menurutnya, menjaga perdamaian memerlukan upaya yang serius, sistematik dan berkelanjutan. Diperlukan pula keteguhan dan keinginan politik dari para pemimpinnya. Kesepuluh, khusus untuk penyelesaian konflik di Aceh, SBY mengaku telah meneguhkan hati untuk tidak melakukan kesalahan terdahulu.

Menurutnya, kegagalan terdahulu, utamanya perjanjian Jenewa pada 2002 dikarenakan tidak ada dukungan yang kuat dari jajaran TNI/Polri; tiadanya dukungan politik yang kuat di Jakarta; tidak ada kebulatan dan dukungan kuat dari GAM secara keseluruhan dan absennya kepemimpinnya yang mengambil tanggung jawab secara penuh dengan segala risiko yang harus diambil. 

"Karenanya, selama proses penyelesaian konflikk secara damai berlangsung, saya dengan dibantu Wapres Jusuf Kalla dan para pejabat pemerintahan yang lain termasuk Panglima TNI dan Kapolri berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulangi kesalahan sebelumnya. Alhmadulillah dengan pertolongan Allah SWT, hal itu dapat kami lakukan," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement