REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pusat Penelitian dan Pengembangan Transformasi Konflik di Kementerian Hukum dan HAM (KemenkumHAM) tengah menggagas pedoman peliputan untuk melindungi korban konflik agar tidak mengalami trauma berkepanjangan pascakonflik.
"Media massa memang bisa bersikap netral dan apa adanya, tapi sikap itu (netral dan apa adanya) bisa memperuncing dan meredakan konflik," kata Kepala Bidang Pengembangan Transformasi Konflik Puslitbang Transformasi Konflik KemenkumHAM Drs Tresno MSi di Surabaya, Rabu (18/9).
Ia mengemukakan hal itu dalam "Focus Group Discussion" (FGD) yang juga menampilkan Ketua PWI Jatim Drs H Akhmad Munir sebagai narasumber dengan dihadiri peserta dari kalangan Kominfo, Humas Pemprov, KPID, Dinas Sosial, Kejati, Polda, PusHAM Ubaya, akademisi Unair, LKBN Antara, TVRI, RRI, dan sebagainya.
"Karena itu, kami merumuskan Pedoman Peliputan untuk Perlindungan Bagi Korban Konflik, karena peliputan yang tidak proporsional justru berdampak pada korban konflik yang mengalami trauma dan pembelajaran multikulturalisme di sekolah-sekolah juga akan sia-sia," katanya.
Senada dengan itu, Ketua PWI Jatim Drs H Akhmad Munir mengakui kebebasan pers saat ini sudah sangat "telanjang". Ia menilai berita yang layak siar selalu diidentifikasikan dengan berita kekerasan, pemukulan, dan sejenisnya yang justru membuat trauma korban dan masyarakat.
"Karena itu, kami mendukung rencana Puslitbang KemenkumHAM membuat Pedoman Peliputan Berita untuk Perlindungan Korban, tapi untuk efektivitas pedoman itu sendiri, saya kira KemenkumHAM sebaiknya tidak merumuskan sendirian," katanya.
Menurut Akhmad Munir yang juga Kepala Biro LKBN Antara Jawa Timur itu, ada dua pendekatan dalam perumusan Pedoman Peliputan itu yakni pendekatan struktural dan fungsional.
"Untuk pendekatan struktural, KemenkumHAM sebaiknya mengajak Dewan Pers untuk merumuskan dan menyetujui pedoman itu, karena kalau KemenkumHAM yang melakukan sendirian akan sulit diterima kalangan pers, sebab secara struktural memang kurang 'nyambung', meski KemenkumHAM berkepentingan dengan korban HAM dalam konflik," katanya.
Untuk pendekatan fungsional, KemenkumHAM sebaiknya melibatkan asosiasi media (PWI, AJI, IJTI) dan pengelola media (wartawan, redaktur, pimpinan redaksi), sehingga pedoman itu bisa menjadi budaya di kalangan wartawan untuk mengembangkan jurnalisme damai yang peka konflik.
"Untuk implementasi kedua pendekatan itu, pihak KemenkumHAM sebaiknya berperan aktif dalam menyosialisasikan pedoman itu, misalnya melalui pelatihan atau workshop bagi wartawan dan redaktur, terutama di daerah rawan konflik," katanya.