REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sejumlah pedagang di Surabaya, Jawa Timur tidak menjual komoditas tahu dan tempe. Alasannya, mereka khawatir atas aksi sweeping yang dilakukan oleh beberapa oknum yang tengah melangsungkan aksi mogok berjualan.
Peristiwa tersebut terjadi di Pasar Asem, Balongsari. Para pedagang enggan berjualan karena pagi tadi ada beberapa oknum yang melakukan sweeping dengan menumpahkan barang dagangan penjual tahu-tempe dan menginjak-injak bahan pangan tersebut.
Pantuan Republika di Pasar Wonokromo, tidak ada pedagang sayuran yang menjual tempe ataupun tahu. Sedangkan, lapak yang biasa menjadi distributor justru tutup. Meski tidak ada aktifitas dari para penjual makanan berbahan dasar kedelai itu, tempe dan tahu masih bisa ditemukan di keranjang pegadang gorengan.
"Ini barang kemarin, kayaknya besok sudah tidak ada karena di pasar juga tidak ada yang berjualan," kata Siti Maryam, pedagang gorengan di depan pasar tersebut, Senin (9/9).
Sedangkan, di sejumlah daerah niknya harga kedelai membuat perajin melakukan upaya alternatif agar tetap berproduksi. Di Jombang, produsen tempe mencampur kedelai dengan nasi aking atau karak. Sedangkan di Pasuruan, produsen tahu memperkecil ukuran, dan menaikan harga agar tetap berproduksi.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jatim, Budi Setiawan mengatakan, perlu ada langkah strategis seperti membebaskan bea masuk impor kedelai dan memberikan subsidi pada pengarajin. Dengan begitu, tidak terjadi kelangkaan tahu dan tempe di Jatim.
"Jatim memang masih bergantung pada impor kedelai, namun aksi mogok ini harus perlu disiasati," katanya.
Kebutuhan kedelai di Jawa Timur mencapai 565 ribu ton tiap tahunnya. Sedangkan produksi lokal hanya 485 ribu ton, sisanya mencapai 85 ribu ton masih impor dari Amerika dan China. Harga kedelai impor rata-rata menembus harga Rp 10.900 per kilogram dan Rp 8.600 untuk kedelai lokal.