REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Jumhur Hidayat, menilai ancaman hukuman mati oleh Mahkamah Tinggi Malaysia kepada TKI Walfrida Soik merupakan tindakan yang tidak masuk akal. Menurutnya ancaman hukuman mati tersebut tidak adil mengingat Walfrida merupakan korban perdagangan manusia.
Ia mengatakan kasus hukuman mati bagi Walfrida Soik jangan hanya dilihat dari persoalan teknis hukum material saja. Namun, juga perlu dilihat lebih jauh sebagai korban perdagangan manusia. “Saya meminta Walfrida dibebaskan dari ancaman hukuman mati,” kata Jumhur pada keterangan pers, Kamis (29/8).
Lebih lanjut Jumhur menyatakan, penempatan PLRT (Penatalaksana Rumah Tangga) yang dilakukan perseorangan tanpa melalui PPTKIS yang dikontrol pemerintah merupakan bentuk perdagangan manusia. Jumhur menyayangkan pemerintah Malaysia yang masih saja menerima dan memberikan visa kerja kepada para korban perdagangan manusia tersebut.
Jumhur menyebut, jumlah pemberian visa ini diperkirakan bisa mencapai lebih dari 100 ribu orang. “Artinya Pemerintah Malaysia bisa dikatakan turut serta dalam tindakan kriminal perdagangan manusia ini,” kata dia.
Karena itu, Jumhur mengatakan, pemerintah Malaysia harus menghentikan pengeluaran visa kerja untuk TKI yang menjadi PPLRT sekaligus meminta maaf kepada rakyat Indonesia yang telah banyak menjadi korban dari perdagangan manusia ini.
Ia juga meminta kepada semua pihak yang terkait untuk memastikan pembebasan Walfrida dari ancaman hukuman mati. “Saat ini memang bangsa kita sedang dalam keadaan butuh pekerjaan, namun bukan berarti bangsa ini dengan mudah bisa dilecehkan,” ujarnya.
Walfrida Soik TKI asal Desa Rai Manuk, Kecamatan Lamaknen, Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), terancam hukuman mati di Malaysia setelah disangka terlibat kasus pembunuhan majikannya di Malaysia, Puan Yeap. Saat ini Walfrida ditahan di Penjara Pengkalan Cepa, Kota Bharu Pasir Mas, Kelantan, Malaysia. Ia diberangkatkan ke Malaysia sebagai TKI pada November 2009 sebagai pembantu untuk menjaga orang sakit (Parkinson) yang baru saja menjalani operasi bedah otak.