REPUBLIKA.CO.ID, PONOROGO -- Pengamat politik, Ray Rangkuti, berpendapat hasil survei hanya menjadi salah satu alat ukur, bukan menjadi satu-satunya rujukan untuk menetapkan hasil konvensi calon presiden (capres) partai Demokrat.
"Mematok survei sebagai alat ukur dengan sendirinya juga menafikan partisipasi warga Partai Demokrat sendiri. Padahal, partisipasi warga Demokrat mestinya menjadi sesuatu yang dengan sendirinya menjadi bagian inti dari konvensi ini," kata Direktur Nasional Lingkar Madani (LIMA) Indonesia di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Selasa (13/8).
Menurut dia, selain adanya keterlibatan masyarakat umum di dalamnya, perpaduan pemilihan dari suara pengurus partai dengan hasil survei menjadi sesuatu yang lebih memberi bobot demokrasi dan subtansialitas. "Setidaknya hal ini dapat menyinkronkan antara popularitas calon dengan verifikasi ide, visi dan misi dari yang bersangkutan."
Metode penetapan capres hasil konvensi Demokrat melalui hasil survei juga berpotensi menjadikan spirit konvensi menjadi semata ajang pertaruhan popularitas dan citra. Setidaknya, kata dia, ada dua kelemahan dalam hal ini. Pertama, cara ini akan menggiring para kandidat capres untuk berlomba-lomba memopulerkan diri.
Dengan sebanyak-banyaknya tampil di publik, lanjutnya, akan menggenjot popularitas dengan iklan dan memobilisasi citra menjadi keniscayaan. "Hal ini dapat mengaburkan tujuan pencarian kandidat capres dengan visi Indonesia yang maju, bersih dan sejahtera," katanya.
Kandidat akan lebih terpancing untuk lebih mengutamakan persepsi dari fakta. Yang digalakkan adalah soal bagaimana membuat persepsi baik di mata masyarakat sekalipun sesungguhnya faktanya jauh dari itu. Kedua, jika akhirnya metode penetapan kandidat capres melalui hasil survei pada hakekatnya tak perlu dilakukan konvensi secara alami dan berjalan apa adanya, banyak tokoh yang mendapat apresiasi dan penilaian layak di mata masyarakat saat ini.
Banyak survei yang diungkapkan ke masyarakat saat ini dapat dijadikan sebagai rujukan untuk melirik calon presiden yang dimaksud. "Justru menjadi lucu, nama yang begitu luas muncul di persepsi masyarakat sebagai calon presiden yang diungkapkan melalui berbagai survei malah tidak diundang untuk terlibat dalam konvensi," tutur Ray.