REPUBLIKA.CO.ID,LOMBOK -- Sudah lama, 22 Juni lalu, gempa berkekuatan 5,4 SR mengguncang pulau Lombok. Pemerintah setempat merilis sekitar 5.286 rumah rusak berat akibat gempa itu. Angka kerusakan serius dan perlu sigapmengulurkan bantuan signifikan. Kalau sekadar sembako penyangga sementara, berbagai pihak dari Lombok maupun luar Lombok, bisa membantu, tapi membangun kembali rumah mereka, pemerintah perlu serius menanggulaginya.
Pada kunjungan kedua ACT, 26-27 Juli pascadukungan fase darurat di pekan-pekan awal gempa itu, terlihat fakta bahwa warga belum mendapatkan dukungan signifikan untuk pemulihan pemukimannya. Padahal ini sudah lebih sebulan setelah gempa.
Tiga kecamatan cukup parah dilanda gempa, meliputi desa-desa: Jenggala, Tanjung, Sokong, Medana, Tegal Maja, dan Teniga. Mereka baru menerima bantuan sporadis bahan pangan, Warga yang mayoritas muslim itu konsisten menjalani puasanya. Di siang bolong kami masih melihat mereka mulai mengais-ngais bekas rumahnya yang hancur.
Aktivitas fisik seperti itu dilakukan bahka oleh kaum perempuan. Mereka memilih batu-bata yang masih bisa dipakai. Sebagian lainnya membuat batu-bata sendiri. Maklum, dukungan material pemerintah untuk merenovasi pemukiman, tak kunjung ada.
Dalam kondisi bulan Ramadhan, situasi ekonomi amat berat. Tidak mungkin warga bangkit sendiri. Sementara ini, para korban umumnya terbantu adanya bangunan khas yang disebut brugaq, semacam saung untuk menerima tamu. Bangunan terbuka kontruksi kayu yang tahan gempa itu, segera beralih fungsi menjadi hunian sementara. Karena banyak brugaq, maka desa-desa di Lombok Utara tak menampakkan konsentrasi pengungsi.
Rata-rata mereka menempati brugaq-nya bersama anak dan menantu. “Tapi ini kan tidak bisa berkepajangan. Mana mungkin, brugaq sekecil itu, ditempati lebih dari satu kepala keluarga?” ujar Ahyudin, presiden ACT dari Dusun Gol Desa Medana Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara, NTB. Warga Lombok Utara yang kebanyakan etniknya Sasak ini, terbilang warga yang tabah dan punya kehormatan untuk tidak meminta.
Tanpa gempa saja, di wilayah ini warga banyak yang bekerja sebagai buruh, dengan penghidupan subsisten. “Buruh upah hariannya 40 ribu rupiah, di sini kami hidupi delapan jiwa, tidak cukup,” ujar Salman (40) warga Dusun Gol. Menantunya, Surnadi, keluar desa juga menjadi buruh. Gempa, kian memurukkan hidup mereka yang berpendapatan minim. Meski begitu, warga tak meminta. Selayaknya, pemerintah tanggap untuk lekas membantu membangun kembali rumah warganya.