Selasa 09 Jul 2013 13:13 WIB

Nelayan Pantura Jabar dan Jateng Protes Kewajiban Pemasangan VMS

Rep: lilis Handayani/ Red: Djibril Muhammad
Nelayan.   (ilustrasi)
Foto: Antaa
Nelayan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU – Nelayan di pantura Jawa Barat dan Jawa Tengah memprotes adanya aturan mengenai kewajiban pemasangan alat Vessel Monitoring System (VMS). Selain harganya mahal, pemasangan alat tersebut tidak menyangkut kepentingan nelayan.

 

"Adanya kewajiban itu menunjukkan negara tidak peduli dengan nasib nelayan," tegas Ketua DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Barat, Ono Surono, kepada Republika, Selasa (9/7).

 

Ono menjelaskan, kewajiban pemasangan alat VMS itu merupakan bagian dari Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP). Hal tersebut tertuang dalam Permen No 10 Tahun 2013 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan.

Dalam aturan tersebut, salah satunya menjelaskan seluruh kapal perikanan di atas 30 GT wajib dipasang VMS. Ono menyebutkan, harga VMS sekitar Rp 18,5 juta. Selain itu, nelayan pun harus mengeluarkan biaya abodemennya sebesar Rp 6 juta per tahun. "Ini jelas memberatkan nelayan," kata Ono.

 

Ono mengungkapkan, saat ini nasib nelayan sedang terhimpit akibat naiknya harga bahan bakar minyak (BBM). Apalagi, kenaikan harga BBM memicu naiknya harga berbagai kebutuhan lainnya, terutama yang menyangkut kebutuhan dasar melaut. Seperti sembako, jaring maupun tambang.

 

Dalam kondisi sulit itu, kata Ono, tidak ada program perlindungan usaha bagi nelayan. Akibatnya, nelayan harus berjuang sendiri tanpa ada bantuan dari pemerintah. Bahkan, kesulitan nelayan justru ditambah dengan adanya peraturan yang dikeluarkan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut.

 

Padahal, Ono melanjutkan, penerapan SPKP itu tidak menyangkut kepentingan nelayan. Dia menjelaskan, tujuan penerapan SPKP tersebut sepenuhnya untuk kepentingan negara.

 

Ono menyebutkan, tujuan SPKP di antaranya meningkatkan efektifitas pengelolaan perikanan melalui pemantauan terhadap kapal perikanan. Selain itu, meningkatkan ketaatan kapal perikanan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dan/ atau pengangkutan ikan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Tujuan lainnya, yakni memperoleh data dan informasi tentang kegiatan kapal perikanan dalam rangka pengelolaan perikanan secara bertanggungjawab dan berkelanjutan. Ditambah lagi, meningkatkan pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan.

"Tujuan SPKP itu kan sepenuhnya untuk negara, tapi kenapa biayanya dibebankan kepada nelayan?" tanya Ono.

Ono menyebutkan, di Indonesia jumlah kapal berukuran 30 GT ke atas mencapai lebih dari 5.000 buah. Sedangkan di Jawa Barat, jumlah kapal tersebut mencapai sekitar 500 buah kapal.

 

Ono menambahkan, nelayan yang sudah menyatakan penolakannya terhadap kewajiban pemasangan alat VMS, di antaranya nelayan pantura Jawa Barat seperti Indramayu dan Cirebon. Selain itu, nelayan dari pantura Jawa Tengah seperti Tegal, Pekalongan, Rembang dan Pati.

 

Salah seorang pemilik kapal berukuran di atas 30 GT, Robani Hendra Permana, mengaku sangat keberatan dengan adanya kewajiban pemasangan alat VMS. Sebab, yang memiliki kepentingan terhadap pemasangan alat tersebut adalah pemerintah, bukan nelayan.

 

"Karena yang butuh adalah pemerintah, jadi seharusnya pemerintah yang menyediakan alat VMS," tegas Robani.

 

Hal senada diungkapkan seorang nelayan asal Tegal, Jawa Tengah, Eko. Dia menyatakan, yang berkepentingan terhadap pemasangan alat VMS adalah pemerintah. Karena itu, seharusnya pemerintah yang menyediakan alat itu secara gratis untuk nelayan.

 

"Jadi jangan dibebankan kepada nelayan. Ini sangat memebratkan untuk kami," tutur Eko.

 

Eko mengungkapkan, nelayan saat ini sudah terbebani dengan kenaikan harga BBM dan kebutuhan melaut.  Oleh sebab, dia berharap pemerintah tidak menambah beban tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement