REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sejumlah anggota Komisi I DPR yang dipimpin Heri Akhmadi meminta masukan para pakar dari Universitas Airlangga terkait klaim China atas kawasan laut di wilayah sejumlah negara ASEAN, termasuk utara Pulau Natuna.
"Itu kasus yang sudah lama dibahas di tingkat ASEAN dan beberapa negara ASEAN sepakat untuk merumuskan 'code of conduct'," kata Heri Akhmadi dalam dialog terkait RUU Perjanjian Internasional di Gedung Rektorat Unair Surabaya, Kamis (20/6).
Dalam dialog dengan sejumlah pakar hukum internasional FH Unair dan hubungan internasional Fisip Unair yang dipimpin Wakil Rektor III Unair Prof dr Soetjipto PhD, politisi PDIP itu meminta masukan dari Unair terkait langkah yang sebaiknya ditempuh Indonesia.
"Kita memiliki wilayah perbatasan yang terkait dengan sepuluh negara, tapi kita tidak satu pun memiliki perjanjian batas wilayah dengan sepuluh negara itu, kecuali dengan Malaysia, Singapura, dan Filipina, tapi belum tuntas juga," katanya.
Menanggapi hal itu, pakar hukum internasional FH Unair Dr Dina Sunyowati SH MHum menegaskan bahwa pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri harus segera melakukan penetapan batas laut Indonesia di selatan dan utara.
"Kalau di sisi laut selatan mungkin tidak perlu perjanjian internasional karena kita tidak berbatasan dengan negara lain, kecuali kutub, tapi di sisi utara perlu ada perjanjian batas wilayah dengan negara lain, lalu hasilnya dilaporkan ke PBB untuk mendapatkan penetapan," katanya.
Didampingi rekannya dari hukum internasional FH Unair Jani Purnawanty SH LLM, ia menjelaskan klaim China itu sebenarnya tidak kuat, karena melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang menjadi bagian dari UNCLOS.
"UNCLOS itu bukan sekadar perjanjian internasional tapi sudah menjadi kebiasaan internasional yang diterima dunia, jadi kalau ada negara yang belum mengakui UNCLOS, negara itu tetap tidak boleh mencederai UNCLOS," katanya.