REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Ahmad Yani menilai gratifikasi seks tidak bisa dikategorikan dalam delik pidana karena sulit melakukan pembuktiannya.
"Saya berpandangan gratifikasi seks sulit dipidanakan," kata Ahmad Yani pada diskusi "Dialektika: Menakar Sanksi Gratifikasi Seks" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis.
Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah praktisi hukum Farhat Abbas dan pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia Akhiar Salmi.
Menurut Ahmad Yani, ada banyak persoalan jika ingin memasukan gratifikasi seks sebagai bagian dari gratisikasi yang masuk dalam delik pidana, seperti halnya penerima gratifikasi jika mengembalikan barang yang diterimanya dalam waktu sebelum 30 hari, maka tidak bisa dipidanakan.
"Jika gratifikasi yang diberikan dalam bentuk seks, maka barang apa yang mesti dikembalikan oleh si penerima," katanya.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menegaskan, wacana yang yang ingin menjadikan gratifikasi seks sebagai bagian dari tindak pidana sama saja dengan merendahkan martabat kaum perempuan.
Wacana yang menyebutkan bahwa gratifikasi seks sebagai bagian dari gratifikasi, menurtu dia, sama saja dengan menyamakan perempuan sebagai barang atau benda mati.
"Pandangan ini tidak menghargai kaum perempuan," katanya.
Ketika ditanya bagaimana dengan sejumlah nama perempuan yang disebut-sebut sebagai gratisikasi yang terkait dengan kasus yang dihadapi Achmad Fathanah, Yani menyatakan kaum perempuan itu tidak bisa dipersalahkan.
Apalagi, kata dia, beberapa nama perempuan yang disebut-sebut juga dituntut untuk mengembalikan uang yang diterimanya dari Fathanah ke negara.
"Achmad Fathanah bukan penyelenggara negara dan pejabat publik. Apa alasan perempuan yang menerima uang dari Fathanah harus dikembalikan ke negara?" ujarnya.
Sementara itu, Farhat Abbas menambahkan, perempuan yang diberikan oleh pihak tertentu sebagai gratfikasi seks bisa mendorong para penyelenggara negara melakukan tindakan korupsi.
Menurut dia, wajar saja jika KPK menyita uang diterima oleh perempuan yang "disodorkan" kepada penyelenggara negara jika ternyata uang tersebut berasal dari korupsi.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Akhiar Salmi mengatakan, aturan hukum di Indonesia ini sesungguhnya sudah lengkap, termasuk mengatur soal gratifikasi, tapi implementasinya belum optimal.