Selasa 28 May 2013 09:59 WIB

Rekomendasi yang "Tenggelam" Dalam Lumpur Lapindo

Lumpur Lapindo Sidoarjo.
Foto: Antara/Eric Ireng
Lumpur Lapindo Sidoarjo.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- "Kok kayaknya enggak ada negara saja," ucap warga Siring, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Hartawi, dengan suara samar, tapi jelas tegas.

Ketika ditanya alasan dari pandangannya itu, korban lumpur di kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas itu mengatakan desanya sudah tenggelam dan hilang dari peta geografis sejak 29 Mei 2006.

"Tapi, pemerintah belum pernah bertanya kepada warga korban lumpur tentang nasibnya sekarang. Kalau negara saja tidak punya perhatian, lalu saya harus percaya kepada siapa?," tuturnya.

Pandangan itu agaknya beralasan karena masih banyak ganti rugi yang belum dibayarkan, padahal Peraturan Presiden 14/2008 sudah lama dan kadaluwarsa.

"Anak-anak kami banyak yang putus sekolah, sedangkan biaya ganti rugi yang sebagian sudah diberikan kepada sebagian warga juga habis untuk biaya berobat (kesehatan) dan kontrak yang semakin mahal," ujarnya.

Bahkan, sebagian korban lumpur mencari tambahan biaya hidup dengan menjadi tukang ojek di kawasan lumpur. Ya, beban kami sangat berat, apalagi penghasilan ojek juga tidak selalu cukup.

Nasib Hartawi dan kawan-kawannya masih saja "tenggelam" dalam selang waktu tujuh tahun luapan lumpur (29 Mei 2006-29 Mei 2013), padahal desanya sudah hilang dan mereka pun sudah kehilangan segalanya.

Tenggelamnya "suara" Hartawi dan kawan-kawannya itu agaknya idem dengan "suara" para pakar dan peneliti yang melakukan penelitian tanpa kepentingan apapun, kecuali riset, namun "suara" nyaris tak terdengar.

Misalnya, peneliti dari Teknik Geologi UGM Yogyakarta Bosman Batubara yang "tenggelam" juga suaranya, apalagi dia menyajikan data-data akurat tentang penyebab luapan lumpur Lapindo itu.

"Upaya mengaitkan bencana lumpur di Porong, Sidoarjo dengan gempa bumi di Yogyakarta itu merupakan `cara baca` yang cenderung menyamakan bencana alam dengan bencana industri," ulasnya.

Faktanya, magnitude gempa Yogyakarta hanya 4 kilo-Pasca, padahal untuk sampai ke Porong, Sidoarjo dari Yogyakarta yang berjarak 280 kilometer itu perlu "magnitude" sebesar 10 kilo-Pasca.

"Jadi, secara saintis nggak mungkin, apalagi sekarang dikaitkan dengan rekahan Watukosek yang justru terkesan mencari-cari," ungkap penulis buku 'Kronik Lumpur Lapindo Bencana Industri dan Bisnis Lumpur Lapindo' itu.

Agaknya, rekomendasi yang "tenggelam" dalam kubangan lumpur perlu "dibongkar" yakni perlunya UU Penanggulangan Bencana Industri, karena bila terjebak pada bencana alam, maka bencana industri yang akan semakin banyak pun tidak akan pernah terantisipasi, tentu bencana industri pun mensyaratkan penanganan sosial dan teknologi yang lebih komprehensif. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement