Selasa 21 May 2013 16:22 WIB
Resonansi

Pergumulan Teologis dan Realitas Hidup (II)

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif

Apakah Tuhan memang sedang murka pada kita umat Islam yang papa ini, sehingga masih saja berada dalam keadaan tersungkur, sebagaimana terbaca pada bait terakhir dalam "protes" Iqbal di atas? Aduh, sudah papa kena murka lagi.

Tentu, jika Tuhan memang sedang murka kepada umat ini, semestinya kita melakukan kritik diri secara jujur dan tajam, mengapa berlaku demikian? Belum ada perbaikan yang mendasar sebagai syarat untuk bangkit sebagai umat yang diridai. Iman kita mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah ingkar janji, asal syarat-syarat untuk itu dipenuhi oleh hamba-Nya.

Protes Iqbal berlanjut: Di tempat-tempat pemujaan syirik, si musyrik berkata, "Umat Islam telah tamat!" Mereka girang karena penjaga Ka'bah telah pergi.

... Si kafir bersorak terbahak; apakah Engkau pekak, tak peduli? Akan halnya keesaan Engkau, seolah kehilangan makna?

(Lihat Muhammad Iqbal, Complaint and Answer. Terjemahan AJ Arberry. Kashmiri Bazar, Lahore: SH Muhammad Ashraf, 1977, hlm 17).

Protes Iqbal terasa keras sekali, seolah-olah pesan tauhid telah kehilangan makna dalam realitas kehidupan umat Islam. Dalam Jawabi-Shikwa, jika dikaitkan dengan fenomena sektarianisme yang membuat umat Islam kocar-kacir, kita baca bait ini:

Di sini sektarianisme menang, kelas dan kasta menguasai zaman; Masih beralasankah kamu untuk berjaya, untuk meraih kembali kekuasaan yang telah silam? (Ibid, 49).

Dengan jawaban ini semakin sadarlah kita bahwa sektarianisme yang masih dipuja itu adalah pengkhianatan telanjang terhadap doktrin tauhid yang menjadi inti teologi Islam. Semestinya, dengan berlandaskan tauhid sejati, umat Islam tidak patut porak-poranda seperti yang sekarang berlaku.

Rupanya landasan teologi utama itulah yang telah digerogoti za man, padahal teologi itu pulalah yang mesti direbut kembali, jika umat ini mau beranjak dari suasana kehinaan akibat virus sektarianisme yang melumpuhkan itu.

Saya sudah lama berpendapat bahwa baik sunisme maupun syi'isme tidak lain dari ciptaan sejarah yang tidak muncul di era nabi, tetapi mengapa masih diberhalakan sampai sekarang? Masing-masing pendukung sekte berkata merekalah yang mewakili Islam secara benar.

Bukankah klaim serupa ini adalah sifat manusia takabbur? Bagi saya, kita harus punya keberanian teologis untuk membongkar klaim-klaim palsu hasil sejarah sengketa karena berebut kuasa di kalangan internal umat itu. Tanpa keberanian ini, saya khawatir, darah masih akan tertumpah lebih banyak lagi dari kalangan umat yang bernasib malang ini.

Saya setuju dengan pandangan bahwa pihak Barat tidak rela jika umat Islam bangkit lagi dengan penuh percaya diri, setelah mereka menyadari kesalahan fatal yang diperbuat selama ini. Tetapi, percayalah, pihak lain hanya akan mam pu melumpuhkan barisan kita di saat keadaan internal kita kacau-balau, mengalami kerapuhan dari dalam, seperti yang berabad-abad kita derita.

Masalahnya adalah sudah sepakatkah kita bahwa kondisi umat ini memang kacau-balau dan rapuh? Jika sudah sepakat, mari kita perbaiki dengan syarat bersedia menghilangkan egoisme sejarah dan subjektivisme sektarianisme kita?

Akhirnya, pergumulan keras teologis dengan realitas hidup ini masih akan berlangsung terus selama idealisme ajaran masih jauh di sana, masih dalam suasana pecah kongsi berhadapan dengan perilaku kita yang sudah jauh menyimpang dari jalan kebenaran, jalan tauhid yang sejati. Sektarianisme adalah penyakit kronis peradaban, tetapi masih saja dibela orang karena dianggap benar. Jika demikian, di mana Alquran, sebuah Kitab Suci, yang menyatakan perang total terhadap segala corak sektarianisme sejak 14 abad yang lalu?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement