REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan Istana Negara oleh Presiden RI untuk kepentingan partai politik memiliki masalah secara etika ketatanegaraan. Fasilitas tersebut seharusnya digunakan untuk urusan negara saja, bukan golongan.
“Jelas ada persoalan ketidaklayakkan ketika rumah negara digunakan untuk kepentingan partai politik tertentu,” ujar ahli hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Irman Putra Sidin, saat dihubungi Jumat (19/4).
Di sisi lain, undang-undang tidak melarang seorang kepala negara merangkap jabatan sebagai anggota atau pun pengurus partai. Oleh karena itu, kata Irman, ada semacam anomali ketika presiden menggunakan Istana Negara untuk urusan parpol yang diembannya.
“Makanya, saya sejak awal menentang jika kepala negara merangkap jadi anggota atau pun pengurus parpol,” katanya. Untuk itu, ia berharap agar Undang-Undang Pilpres—yang membolehkan presiden merangkap sebagai anggota/pengurus parpol—segera direvisi.
Tidak itu saja, aturan hukum yang membolehkan kepala daerah merangkap di parpol pun menurutnya perlu diperbarui. Dengan begitu, anomali dalam ketatanegaraan tersebut tak akan terjadi lagi.
“Semestinya, jiki a seorang pengurus parpol mulai menjabat sebagai kepala negara atau pun kepala daerah, ia harus melepaskan keanggotaannya di parpol itu. Ia harus fokus kepada persoalan-persoalan publik,” tegas Irman.
Seperti diketahui, Rabu (17/4) lalu, Presiden SBY menggelar konferensi pers di Istana Negara terkait gagalnya Yenny Wahid bergabung ke Partai Demokrat. Sebagian kalangan menilai hal ini sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan kepala negara.