REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD menuding kalau selama ini partai politik salah menafsirkan pasal 6A UUD 1945. Bahwa yang berhak maju menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah diusung parpol atau gabungan dari beberapa parpol.
"Padahal menurut pasal tersebut, siapa pun boleh maju. Parpol hanya mendampinginya," di Yogyakarta, Sabtu (13/4).
Seminar yang digelar Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII ini juga menampilkan pembicara Hadar Nafis Gumay (anggota KPU), Kacung Marijan (Guru Besar Unair) dan Anang Zubaidy (dosen FH UII).
Akibat penafsiran yang salah, lanjut Mahfud, membuat orang di luar partai tidak memiliki kesempatan menjadi presiden. "Jadi calon presiden dari luar tidak ada," katanya.
Karena itu, Mahfud sangat mengapresiasi gagasan Presiden SBY yang akan melakukan penjaringan orang dari luar partai untuk menjadi presiden. Walau pun ide ini muncul akibat keterpurukan Demokrat akibat konflik intern partai.
"Ini membuka pintu orang bukan anggota parpol untuk bertarung menjadi presiden melalui primary election. Namun pertarungannya berdasarkan dukungan rakyat bukan dari parpol," ujar dia.
Menurutnya, saat ini pemilu tak lagi dipandang sebagai kegiatan demokrasi. Tetapi lebih sebagai kegiatan nomokrasi. "Dalam demokrasi, kontestan berusaha untuk mencari kemenangan. Sedang nomokrasi, kontestan berusaha mencari kebenaran. Jadi demokrasi itu kedaulatan rakyat, kalau nomokasi kedaulatan hukum," katanya.
Bukti nomokrasi, ujarnya, setelah pemilu banyak orang masuk penjara karena kecurangan. Juga banyak hasil pemilu yang dibatalkan MK.