REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerusuhan mewarnai Kota Palopo Sulawesi Selatan (Sulsel) usai rapat pleno Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) setempat yang dilakukan Ahad (31/3) lalu. Ratusan massa pendukung pasangan yang kalah mengamuk di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) Palopo dan terus meluas ke seluruh wilayah tersebut. Meski tak ada korban jiwa, namun situasi Palopo sempat mencekam dan sejumlah gedung di wilayah tersebut dibakar massa.
Pengamat intelejen Indonesia, Wawan Hadi Purwanto mengomenteri peristiwa ini sebagai satu di antara sekian kejadian yang tak mungkin bisa diredam oleh kepolisian. "Sulit kalau kerusuhan sudah membesar, cara satu-satunya dengan membaca rencana para perusuh melalui intelijen. Tapi ini juga belum menjamin," kata dia ketika dihubungi Senin (1/4).
Menurutnya, sebuah aksi yang dimotori oleh massa dengan basis ratusan orang sangat dinamis dan sulit untuk dikendalikan. Akan menjadi kesalahan fatal bila polisi melakukan tindakan represif dalam memukul mundur para pelakunya. Sehingga, polisi hanya bisa membatasi ruang gerak dari para perusuh tanpa bisa mengambil tindakan di lapangan.
Ia menilai, kepolisian Palopo sudah tahu riak keributan sesaat sebelum kerusuhan terjadi. Ini dibuktikan dengan terfokusnya konsentrasi petugas Polres Palopo di kantor KPU setempat. "Tapi sayangnya polisi kalah jumlah, massa lebih banyak. Jadi, tidak bisa dikontrol lagi, hanya bisa mnejaga supaya tidak meluas saja," ujarnya.
Ia menambahkan, sistem yang dibangun oleh Polri dalam meredam kerusuhan khususnya dalam sebuah Pilkada sudah tersusun dengan baik. Tapi kurangnya prajurit untuk menerapkan strategi dan taktik dalam sistem anti huru-hara ini menjadi soal. Anggota Polri aktif yang hingga kini tercatat hanya sebanyak 387.470 orang. Itu masih belum bisa diandalkan untuk meredam aksi kerusuhan.